BAB III : ORANG TUA ADALAH MANUSIA

33 4 3
                                    

Aku terlahir bukan dari keluarga kaya. Ibuku seorang penjual gula, dan ayahku seorang pekerja pabrik.

Aku dibesarkan olehnya tidak dengan cara yang buruk, tidak juga dengan cara yang baik. Aku bingung bagaimana cara menjelaskannya.

Ibuku seorang penyayang, tapi dia sering membentakku entah masalahnya kecil atau besar. Tidak ada satu haripun baginya untuk tak membentakku.

Ayahku sedikit pendiam, tapi sekali saja merah, ia akan main tangan.

Saat aku kecil ayahku gemar selingkuh. Jadi di rumah seperti ada suara-suara petir berisik yang membuatku takut. Saat itu Ibu dan Ayahku benar-benar bertengkar setiap hari. Kadang aku menjadi pelampiasannya.

Kata Ibu saat itu, "Kamu nanti tinggal bersama ayahmu jika terus menangis!" dengan nada marah. Kata-kata itu membekas di hatiku sampai sekarang. Usiaku mungkin saat itu baru 5 tahun, dan aku masih mengingatnya dengan detail.

Oh ya, kata "Cerai," juga salalu aku ingat setiap ada pertengkaran di antara keduanya. Kadang satu kata itu membuatku takut merinding.

Aku pernah menyaksikan sendiri ketika dua orang itu - orang tuaku - bergulat di ruang keluarga dengan saling memaki. Ayahku mencekek leher ibuku, kemudian ibuku berusaha menampar-nampar ayahku. Aku benar-benar takut. Rasanya seperti rumahku adalah sarang harimau dan aku harus segara melarikan diri. Tapi tak tahu harus lari kemana, sementara orang tuaku adalah harimau itu.

Menuju dewasa ini, semua seperti mereda begitu saja. Sesekali mereka masih bertengkar masalah ekonomi, tapi aku sudah terbiasa, dan tak peduli pada pertengkaran mereka.

Tapi belakangan ada rumor bahwa ibuku meniduri seorang pelanggannya. Mereka bertengkar lagi dan lagi, tapi aku selalu kabur dari rumah jika itu terjadi. Sudah tidak peduli lagi apa yang akan terjadi pada mereka.

Nenek dan bibiku sering memintaku untuk melerai perkelahian mereka. "Kamu kan sudah besar, bilangin mereka supaya tidak bertengkar lagi. Malu pada tetangga, sudah tua masih bertingkah seperti itu. Larailah nak pertengkaran mereka." Itu amanah dari bibiku. Tapi aku benar-benar tidak mau mencampuri urusan mereka, diam saja sudah cukup memusingkan mendengar mereka bertengkar, apalagi mencampuri urusannya. Seorang anak benar-benar selalu menempa permasalahan orang tua yang dipendam secara batin.

Orang tua selalu memaksa kehendaknya kepada anak. Jika mereka menginginkan sesuatu kepada anaknya, maka harus dilakukan jika tidak mau berakhir dengan perkelahian. Contoh jika anak disuruh untuk membelikan garam, tapi anak itu tidak mau, siap-siap saja Sang Anak akan kena marah. Itu masalah sepelenya. Kadang hal-hal mengenai pilihan hidup juga harus sesuai kehendak orang tua. Entah itu memilih sekolah, universitas, bahkan pasangan hidup.

Ada beberapa anak yang mau meladeni ocehan orang tua, dan anak itu secara tidak langsung akan disebut anak durhaka. Ada anak yang hanya diam saja ketika orang tua mengoceh, dan anak itu kadang-kadang dikira tidak mendengarkan omongan orang tua. Aku adalah tipe orang yang diam ketika ibuku marah, tapi aku tak pernah mempedulikan apa yang ia bicarakan. Bagiku, mematuhi atau tidak, dia akan tetap memaki setiap hari. Kadang aku merasa menjadi anak selalu serba salah, kadang aku berpikir kenapa aku harus dilahirkan.

Aku diam bukan berarti aku tidak marah. Aku hanya sudah malas saja. Pertengkaran tidak pernah menyelesaikan masalah. Jadi tak heran bukan jika aku suka membuat puisi atau catatan kecil. Kemarahanku di dunia ini kutuangkan dalam bait-bait puisi.

Tidak banyak orang tua yang memahami sifat dan kepribadian anak meski mereka tinggal bersama dalam bertahun-tahun. Itu disebabkan karena anak yang sering dimaki-maki akan sulit terbuka, sementara orang tua hanya fokus kepada kehendaknya dan mengungkit-ungkit betapa susahnya membesarkan seorang anak.

"Ibu melahirkanmu, membesarkanmu dengan susah payah. Mana balasanmu?"

"Aku tidak pernah meminta untuk dilahirkan."

"Sudah untung orangtuamu masih mau ngasih makan. Kalau kamu dulu dibuang, jadi apa sekarang?"

"Buang saja. Aku tidak mau hidup!"

"Lihat! Ayah Ibumu bekerja siang malam. Semua untukmu. Jadi, anak yang nurut!"

"Aku tidak akan berulah. Beritahu aku dengan cara yang halus. Lagipula kalian yang memutuskan untuk punya anak."

"Lihat anaknya Bu Rina. Si Amin, dia rajin banget. Tiap minggu ngepel, bantuin ayahnya cari kayu bakar. Nggak kayak kamu, tidur mulu! Baca buku mulu!"

"Tapi Amin tidak pernah rangking satu. Dia pernah tidak naik kelas."

"Kalo subuh itu bangunin Ayah, goblok! Ayah mau berangkat kerja."

"Tadi ayah tidak menyuruhku. Ayah yang kesiangan, kenapa aku yang disalahkan?"

"Kamu nggak akan sukses kalau kayak gitu mulu. Tuh contoh si Ikbal, dia banyak pergaulannya. Kamu baca buku mulu!"

"Tapi Ikbal pernah ketahuan mabuk-mabukan Ayah!"

Itu hanya beberapa perkataan orang tua yang hanya kujawab melalui suara hati. Aku memilih diam, karena orang tua akan selalu benar jika berhadapan dengan anaknya, dan mereka tidak akan berhenti mengoceh sampai akhirnya bosan sendiri.

Beberapa kata-kata akan membekas di hati anak hingga mereka dewasa, dan akan mempengaruhi kepribadiannya. Sangat disayangkan karena orang-orang tua terdahulu tidak tau tentang kesehatan mental.

Tapi seorang anak harus menerimanya. Apapun sikap dan wujud orang tua kita, mereka adalah orang pertama yang menyayangi kita dengan sepenuh hati. Suatu hari nanti, semoga kita bisa menjadi orang tua yang lebih baik berdasarkan pengalaman dan kemajuan ilmu yang lebih baik. Meski tak bisa dipungkiri bahwa manusia selalu ada sisi iblisnya, kanyataan itu tidak bisa terbendung.

Tidak ada manusia yang sempurna, begitu jug orang tua kita dan kita.

***

Di kamar yang luas itu, aku dan Anhar bermain playstation. Aku bercerita panjang lebar mengenai betapa menderitanya aku ketika dipaksa ibu untuk mengunjungi pernikahan salah satu kerabat dekat.

"Bukankah banyak makanan?" tanya Anhar.

"Aku tidak memikirkan makanan."

"Nikmati saja. Tapi ibumu benar-benar tidak mengerti dirimu."

"Kata ibuku 'kamu hanya membahas introvert dan introvert'. Dan terus mengoceh. Mau tidak mau aku harus menurut."

"Orang tua tidak tahu bahasa seperti itu. Mereka benar-benar mengecewakan, menyebalkan, kadang-kadang sok tahu."

"Benar."

"Apa yang terjadi ketika kamu mengunjungi pernikahan itu?"

"Minum, makan-makan, dan diam. Mereka tidak mengajakku bicara, tapi sesekali menatapku dengan aneh. Aku tahu mereka berpikir 'dia tidak normal'."

"Semua orang pendiam tidak bisa dipahami bukan?"

"Benar."

"Jadi kamu menyalahkan dirimu atau orang lain?"

"Tidak ada gunanya menyalahkan diri sendiri bukan? Karena aku tumbuh seperti ini. Aku menyalahkan ibuku kenapa dia selalu memaksaku. Lagipula dia yang membesarkanku sampai aku jadi seperti ini."

"Ya. Orang tua memang seperti itu."

"Benar."

"Memikirkannya, kadang aku mau terjun ke sungai. Tapi takut sakit."

AKU INGIN MATI TERSENYUMOnde as histórias ganham vida. Descobre agora