BAB VI : PENDIDIKAN MEMBUNUH KITA

26 4 0
                                    

"Liv, kamu sudah tahu berita di TV tentang anak SMA yang bunuh diri karena tugas sekolah menumpuk?" tanya Anhar, sewaktu kita hendak berangkat sekolah.

"Aku melihatnya. Menyedihkan sekali. Dia pasti sangat depresi. Aku juga kadang ingin mati jika melihat tugas menumpuk, apalagi jika guru tidak mau mengerti keadaan kita."

"Jarang sekali ada guru yang mau menolaransi hal-hal semacam itu. Mereka pasti akan mengecap malas jika kita tidak mengerjakan tugas."

"Ya. Tapi, memang kamu malas kan?"

"Iya."

"Mana ada orang yang menoleransi kemalasan."

"Aku malas karena aku tidak suka."

"Ya. Itu resiko kita sebagai pelajar."

"Apakah sistem pendidikan sudah bertindak untuk membunuh kita?"

"Secara tidak sengaja, mungkin," kataku. "Tapi secara langsung, tugas-tugas sekolah kadang membuat kita stress kan? Apalagi ujian semester ini akan segera dimulai. Budaya kompetitif bisa menyebabkan depresi."

Aku tidak tahu kenapa menjalani tugas pendidikan sepusing ini. Bukankah tempat belajar adalah taman kanak-kanak? Bukankah itu harusnya menyenangkan? Aku tidak tahu lagi.

"Kadang aku berpikir, sekolah lebih membuatku gila daripada pintar," ucap Anhar. "Itu adalah ucapan murid bodoh sepertiku."

"Cara pikirmu tidak jauh berbeda denganku."

Ngomong-ngomong aku membaca di internet tentang berapa persen orang remaja pelajar dan dewasa ingin bunuh diri, kerena sejujurnya aku pernah berpikiran untuk bunuh diri.

Di India, bunuh diri murid adalah hal yang paling umum terjadi selama musim ujian. Tahun 2019, 23 pelajar India bagian Telangana bunuh diri setelah hasil ujian diumumkan.

Di Jakarta, 5% murid SMA berpikir untuk bunuh diri. Macam-macam penyebabnya adalah bullying, broken home, dan stres karena tugas sekolah.

Tahun 2010, menurut data dari Kantor Statistik Nasional Korea, dilaporkan bahwa 353 remaja berumur 10 sampai 19 tahun melakukan bunuh diri. Jumlah itu hampir setara dengan rata-rata satu remaja bunuh diri per hari.

Di Korea Selatan, pelajar bisa belajar sampai jam 11 malam. Mereka pasti sangat stres karena menghabiskan seluruh masa kanak-kanaknya bersiap-siap mengkuti Suneung, ujian delapan jam maraton, yang tidak hanya menentukan murid apakah dapat masuk universitas, tapi juga akan mempengaruhi kehidupan masa depan mereka.

Di Jepang, tercatat 415 kasus bunuh diri pada anak berusia 6 hingga 18 tahun selama tahun ajaran 2020. Faktor penyebabnya adalah masalah keluarga, hasil sekolah yang buruk , dan penyakit.

Di Amerika Serikat, bunuh diri adalah penyebab kematian kedua bagi remaja berusia 10 sampai 24 tahun. Lebih banyak remaja dan dewasa muda meninggal karena bunuh diri daripada karena penyakit kanker, penyakit jantung, AIDS, cacat lahir, stroke, dan penyakit lainnya. Ada rata-rata lebih dari 3.470 upaya oleh siswa di kelas 9-12. Beberapa kasus bunuh diri disebabkan karena mereka mengalami stres selama sekolah.

Setidaknya itu yang kubaca dari internet, entah benar atau tidak tapi aku benar-benar merasakan tekanan berat sebagai seorang pelajar akibat dari tugas ini itu yang menumpuk. Sementara kapasitas otakku terbatas, dan tuntutan sosial untuk menjalankan pendidikan.

Daripada dikatakan sebagai pencari ilmu, kadang-kadang pelajar merasakan menjadi seorang yang disuruh-suruh untuk mengerjakan banyak hal dengan dalil 'ini untuk kebaikanmu'. Tapi mereka tidak mempertimbangkan betapa stresnya murid-murid ketika harus mengerjakan tugas sekolah di luar jam pelajaran, sementara jam pelajaran bisa sampai sore hari. Benar-benar mengistirahatkan otak hanya ketika hari sabtu, sedangkan hari minggu yang harusnya juga untuk beristirahat digunakan untuk mengerjakan tugas untuk mata pelajaran hari senin.

AKU INGIN MATI TERSENYUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang