BAB VIII : AKU INGIN TERJUN DARI NERAKA INI

19 3 2
                                    

Ujian semester ini berjalan dengan lancar. Meski rasanya lebih sulit dari ujian-ujian sebelumnya karena aku tidak serajin dahulu atau karena motivasiku sudah hilang, tapi aku tidak mau pusing lagi memikirkan hasilnya. Yang pasti, aku tidak mungkin mendapat peringkat 1, masih berada di posisi tengah-tengah saja sudah beruntung.

Kalian pasti tidak pernah tahu rasanya bersaing dengan orang-orang pintar yang sangat berambisi untuk jadi yang terbaik. Sepertinya hanya aku yang tidak berambisi. Malas!

Aku menunggu-nunggu waktu libur. Kata Anhar, dia akan mengajakku ke Bali pada musim libur ini.

Sebenarnya musim libur sekolah bukan hal yang kunanti-nanti jika tidak ada acara holiday. Sialnya, aku bukanlah tipe orang yang suka disuruh-suruh tanpa kemauanku. Sebab jika hari libur berlangsung, ayah dan ibuku akan memanfaatkan situasi ini untuk menyuruhku ini itu. Yang beli garamlah, ya bersihin rumah lah, ya cuci piring lah, yang bantuin ayah kerja lah, dan lain-lain. Jadi untuk menghindari hal semacam itu, aku harus pergi ke suatu tempat yang jauh dari rumah.

Ya ampun! Betapa tidak berbaktinya aku kepada orang tua. Maafkan aku. Tapi jangan naif, banyak remaja yang berpikir demikian seperti diriku.

Sehari yang lalu, menjelang pengumuman hasil Ujian semester lima, malamnya aku melihat Yanni bertengkar dengan laki-laki yang sepertinya itu pacarnya -aku pernah melihatnya sebelum ini- di pinggir jalan dekat Jembatan Sambungnyawa. Waktu itu aku sedang berjalan-jalan mencari udara segar, dan itu hanya kebetulan.

Laki-laki itu seperti membentak-bentak Yanni. Suaranya tidak terlalu jelas karena jarak kami cukup jauh, tapi Yanni terus menangis.

Laki-laki itu akhirnya meninggalkan Yanni sendiri dengan motornya. Sementara Yanni terus menangis. Perempuan itu menatap sungai, badannya bersandar ke depan di palang jembatan. Dia kemudian naik ke atas palang itu, dan berdiri bertumpu pada palang jembatan.

Aku bergegas mendekatinya. Aku takut sekali karena aku memiliki perasaan tidak enak. Yanni seperti hendak bunuh diri.

Aku menaiki palang jembatan itu, lalu berdiri di samping Yanni dan sama-sama bertumpu pada palang jembatan.

Yanni menoleh ke arahku. "Apa yang kamu lakukan?" tanyanya. Air matanya masih mengalir satu per satu.

"Apa yang kamu lakukan?" Aku bertanya balik.

"Entahlah," jawabnya.

"Aku hanya ingin merasakan atmosper seperti ini, seperti yang kamu lakukan. Gimana rasanya?"

"Seperti melihat surga di bawahnya, tapi surga yang menanipulasi. Seperti, aku ingin terjun dari neraka ini."

"Sebenarnya ada masalah apa dengan cowok tadi?"

"Aku tidak mau mengatakan. Nanti kamu jijik padaku."

"Okay. Fine. Mau kutraktir lagi?" tawarku.

Ia mengangguk. "Kebetulan aku lapar."

Kami pergi ke warung makan terdekat. Memesan masing-masing semangkuk mie ayam, dan segelas es teh.

"Temanku sering mengatakan ketika dia mendapatkan masalah, dia ingin bunuh diri saja, menggantungkan lehernya, terjun dari tebing, terjun ke sungai, dan lain-lain. Tapi dia takut sakit. Sampai sekarang mungkin dia masih mencari-cari cara bunuh diri yang tidak sakit di internet."

Yanni tertawa.

"Tapi aku selalu mengatakan bahwa 'semua masalah akan berlalu begitu saja, dan akan menjadi cerita lucu nantinya, tenang saja' kataku seperti itu. Lalu dia hanya mengangguk-angguk seperti orang bodoh."

Yanni tertawa lagi. "Ternyata kamu banyak omong, dan temanmu sama bodohnya sepertimu."

"Kalimatmu jelas-jelas tidak kusukai, tapi aku suka ketika kamu tertawa. Ternyata kamu cantik juga."

"Astaga. Kamu baru menyadarinya?"

"Ya. Jadi agar kamu terlihat lebih cantik, ceritakan masalah yang membuatmu sedih. Orang bilang, ketika seseorang menceritakan kesedihannya, rasa sedih itu akan berkurang beberapa persen, dan dia akan lebih tenang menjalani kehidupannya. Jadi ceritakan."

Yanni menghirup napas. Lalu mulai berkata-kata lagi. "Sebenarnya ini bukan masalah intinya kenapa malam ini aku menangis. Aku punya banyak masalah. Orang tuaku mendidiku dengan keras, mereka sering mengataiku dengan kata-kata kasar, hingga aku tumbuh menjadi seperti ini. Kadang aku sedih melihat diriku sendiri. Dulu ketika ibuku masih bersama ayah, mereka sering bertengkar, jadi aku tidak betah di rumah, sekarang ayahku juga masih suka bertengkar dengan ibu tiriku, itu juga yang menjadi alasan kenapa kemarin aku mau menemanimu di UKS. Kadang aku tinggal di rumah nenek, tapi kadang ketika sehabis tinggal di rumah nenek, ibu tiriku akan memarahiku. Itu menyedihkan."

"Itu benar-benar menyedihkan." Aku menggenggam tangannya untuk memberikan dukungan semangat. "Dulu orang tuaku juga sering bertengkar, aku tahu bagaimana rasanya mendengar kegaduhan rumah ketika dua orang tercinta mencoba untuk saling membunuh. Tapi untukmu Yanni, kamu pasti bisa melalui semua ini."

"Terimakasih."

"Ya. Kamu bisa melalui ini."

"Tapi saat ini masalah yang lebih besar terjadi. Aku tidak tahu harus bagaimana. Dan ini tidak akan berlalu dalam waktu dekat, tidak akan menjadi lelucon seperti katamu." Dia berbicara diiringi tertawa. Seakan-akan tertawa itu menandakan bahagia, tapi kadang tertawa adalah cara kita untuk meredam pikiran karena depresi.

"Kamu bisa ceritakan apa saja kepadaku."

"Tidak sekarang."

"Okey. Aku tahu kamu perlu waktu."

Kami menyelesaikan makan malam pada pukul 09.00. Lalu berjalan bersama melewati terotoar jalan yang diringi lampu-lampu sambil mengobrol ini itu. Kadang aku berpikir, masih tidak menyangka bisa berbincang-bincang sedekat ini dengan Si Ketus Yanni.

"Apa yang akan kamu lakukan setelah lulus sekolah?" tanya Yanni.

"Kerja sambil kuliah mungkin."

"Bukankah itu sangat merepotkan?"

"Aku ingin kuliah. Tapi aku tidak yakin orang tuaku bisa membiayai kuliahku nanti. Jadi aku harus berjuang sendiri setelah lulus sekolah."

"Bagaimana dengan menikah? Umur berapa kamu ingin menikah?"

Aku tertawa mendengar pertanyaannya. "Itu masih sangat jauh. Aku bahkan belum berpikir untuk pacaran lagi. Tapi semoga umur 27 tahun lah aku nikahnya."

"Mantanmu berapa?"

"Dua."

"Kenapa belum mau pacaran lagi?"

"Sayang waktu. Aku tidak suka jika waktu santaiku digunakan untuk kasih kabar ini itu, setiap hari hari chatingan, jalan-jalan, dan lain-lain."

"Oh. Orangnya nggak mau ribet dan nggak mau diribetin ya?"

"Bukan begitu. Ya, hanya malas saja. Aktifitas pacarannya monoton."

"Tapi kamu pernah tidur bareng nggak sama pacar kamu?"

"Astaga pertanyaannya. Ya nggak lah."

Jawabanku menutup obrolan malam itu. Kami tiba di depan gerbang rumah neneknya Yanni. Kebetulan malam ini ia tidur di rumah neneknya yang jarak dari rumahku tidak terlalu jauh.

"Makasih malam ini," kata Yanni.

"Sama-sama."

Dia masuk ke rumah joglo itu. Sementara aku masih menatap pintunya. Aku masih merasa iba melihat kondisi Yanni. Di balik kata-katanya yang kadang pedas di telinga ada sebuah cerita menyedihkan.

Jangan lupa bersyukur, meski depresi tidak ada hubungannya dengan rasa syukur.

AKU INGIN MATI TERSENYUMWhere stories live. Discover now