BAB IV : HIDUP SEPERTI RODA

35 4 0
                                    

Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku merasa sangat terjatuh. Hidup memang seperti roda, tapi belakangan ini aku merasa berada di bagian terbawah dari roda yang terjebak dalam sebuah kubangan lumpur.

Sejak SD, aku dianggap sebagai orang pintar di kelas. Nilaiku sering yang paling tinggi diantara yang lain. Banyak orang yang menyukaiku, meski ibuku masih saja membandingkan aku dengan anak-anak lain.

Beberapa diantara orang yang mengagumiku, mereka menjadi yang spesial.

Ketika SMP, aku berpacaran dua kali. Perempuan pertama bernama Mirai. Dia yang mengungkapkan perasaannya terlebih dahulu melalui SMS. Dia menyukaiku karena aku pintar dan baik, dalam artian karena aku sering membocorkan soal-soal ujian kepadanya ketika kelasnya baru mau melakukan ujian. Kami berpacaran selama enam bulan, tapi aku memutuskan hubungan ini karena aku bosan melihatnya.

Perempuan kedua bernama Aida. Dia adalah adik kelas. Tapi kami sangat akrab karena berada dalam satu organisasi pramuka. Beberapa hari setelah aku putus dengan Mirai, ia langsung mengungkapkan perasaan sukanya kepadaku. Aku tidak langsung menjawabnya karena aku belum yakin dengan perasaanku, meskipun jika dilihat-lihat, Aida tampak lebih cantik dari Mirai.

Baru setelah 6 bulan, aku menembaknya. Lalu kami berpacaran selama 3 bulan. Aku memutuskannya karena ternyata kami tak sepaham dan dia berubah sikap setalah pacaran dua bulan.

Tapi melepaskan dua orang itu, sebenarnya ada banyak lagi yang mencoba untuk mendekatiku. Tapi hanya kurespon dengan seadanya. Terutama adik-adik kelas perempuan, mereka selalu menyapaku ketika bertemu, kadang ada yang meminta foto bersama.

Tidak juga berbeda ketika memasuki SMK.

Di SMK semester 1 sampai 3, aku mempunyai banyak teman yang mudah didekati dan diajak bicara. Mereka mengatakan bahwa "Eliv pintar tapi tidak sombong", lalu aku mengatakan "aku hanya rajin, tidak pintar". Sejujurnya aku memang merasa seperti itu.

Beberapa kali dalam seminggu, ada saja segerombolan dari mereka yang meminta contekan PR matematika, padahal belum tentu jawabanku benar semua. Tapi aku bersyukur, mereka tidak menyalahkanku katika hasil kerjaku tidak seratus persen benar.

Tidak ada alasan pasti kenapa aku selalu murah hati ketika ada yang menagih contekan kepadaku. Aku selalu memberinya karena aku tidak tahan melihat seseorang sedang kesusahan, dan aku ingin tetap dianggap baik lalu mendapatkan banyak teman.

Orang paling dekat di kelas itu tentu saja Fida. Orangnya cantik, tapi sedikit gemuk. Dia sebenarnya pintar, tapi kadang tidak percaya diri.

Hampir setiap hari Fida menghubungiku, menanyakan ini itu. Kadang aku merasa terganggu, tapi aku tak mau menyakitinya. Jadi aku pura-pura asyik.

Hal itu seperti sudah menjadi kebiasaan. Fida menganggapku orang yang baik dan pintar. Kadang menanyakan meteri pelajaran yang belum dia pahami, tapi kujawab semampunya. Kadang meminta bantuan untuk ulangan susulan, dan kujawab juga seadanya. Dan jika ada tugas kelompok, dia adalah orang pertama yang sangat antusias ingin bergabung denganku.

Itu adalah Fida. Yang baru kejelaskan adalah Fida yang dulu, bukan Fida yang sekarang. Fida yang sekarang adalah Fida yang tak pernah mengajakku bicara bahkan jika aku mendekatinya, Fida yang menusukku dari belakang dengan kata-kata kejamnya, Fida yang tidak menyukaiku lagi dengan alasan karena aku adalah yang terbodoh di kelas saat ini.

Sudah kubilang, aku merasa sedang berada di titik terbawah dimana orang-orang tidak ada yang menganggapku, dan Fida kujadikan sebagai salah satu iblisnya. Semua orang di kelas mendiamkanku, mengataiku bodoh, dan memandangku dengan sinis. Aku jadi tahu bagaimana sangat berbedanya menjadi siswa terpintar dan siswa terbodoh.

Aku benar-benar ingin mati. Selain materi pelajaran yang susah aku tangkap lagi dengan kapasitas otakku, orang-orang di dalam kelas juga seperti vampir dingin yang tidak pernah ramah kepada manusia.

Setiap hari, setiap menit, dan setiap detik aku duduk di antara mereka, rasanya seperti neraka yang tak berapi. Orang yang duduk-duduk di depanku, bukan lagi manusia yang ramah, mereka adalah kekejaman yang tidak dapat kujelaskan seperti apa, yang mempertaruhkan isi otaknya untuk menjadi yang terbaik diantara yang terbaik.

Kadang aku berpikir untuk tidak berangkat saja ke sekolah daripada merasa gila lagi di kelas. Tapi jika Ibuku tahu aku bertindak melanggar aturan, dia pasti akan mengomel-omel.

Beberapa hari yang lalu, aku mendapat kegilaan itu lagi.

Saat itu Bu Yanuar ingin membagi kelas ke dalam lima kelompok. Karena di kelasku hanya ada 5 siswa laki-laki, jadi setiap siswi harus berebutan memilih laki-laki yang akan jadi kelompoknya. Tentu saja Willy adalah orang yang paling banyak dipilih karena dia terlihat paling pintar dan tampan di antara kami berlima, dan tentu saja tidak ada yang memilih diriku karena aku yang terbodoh. Itu membuat mentalku sangat drop, dan aku ingin mati saat itu juga. Bahkan Fida adalah orang yang sangat antusias memilih Willy. Sifatnya terlihat, dia memang hanya seorang pengikut dan beban.

Kelompok akhirnya dibagi secara merata. Sialny aku bergabung dengan Yanni CS, si geng Ketus.

***

"Kamu pasti semakin gila digabungkan dengan Geng Ketus," kata Anhar.

Kami berdua tengah duduk di pinggir jurang. Aku membuat sebuah catatan kecil di diary, dan Anhar sedang menggambar sesuatu di tangannya.

"Sudah pasti," jawabku.

"Tapi setidaknya dia tidak semunafik Fida."

"Aku tidak ingin mendengar nama orang itu lagi."

"Dia benar-benar iblis kan?"

"Aku benar-benar merasakan sekarang. Apa yang sering dikatakan di sosial media bukan omong kosong. Orang akan menoleh kita ketika kita berada di atas, tapi akan menganggap kita hilang ketika kita di bawah, bahkan diinjak-injak. Hidup memang sial!"

"HIDUP MEMANG SIAL!" Anhar berteriak ke arah jurang. Suaranya menggaung.

"HIDUP MEMANG BANGSAAAAATTT," tariakku.

"HIDUP SEPERTI TAI KUCIIIINGG!"

"HIDUP SEPERTI TAIMU ANHARRRRR!!"

"BAU SEPERTI KETIAKMU ELIVVVV!"

"BAUAN KENTUTMUUUU!"

"AKU INGIN MATIIIIII!"

"LENYAPKAN SAJA AKU TUHANNN!!"

"AKU TAK TAHAN HIDUPP"

"BERIKAN AKU SKENARIOMUUU""

"AUUUU."

"AUUUUU."

"AUUUU."

Kami tertawa-tawa. "Bukankah itu suara serigala?" tanyaku.

"Suara kambing," celoteh Anhar, lalu tertawa lagi.

"Bahkan suaramu masih cempreng ketika berteriak."

"Sudah lega?"

"Maksudmu?"

"Sudah lega menghina suaraku?" tanyanya sambil tertawa.

"Belum," kataku sambil memegangi lutut kerena lelah berteriak. "Anhar. Apakah kamu benar-benar ingin mati?"

"Ya," katanya sambil tersenyum.

"Kalau begitu loncatlah ke jurang itu."

AKU INGIN MATI TERSENYUMWhere stories live. Discover now