Bab 20: Vitha is Esper Made?! (1)

0 0 0
                                    

Mobil patroli melayang melesat Bus Ksatria, menembus gelapnya malam. Bunyi sirine bertalu-talu. Melesat melewati setiap pengendara yang melintas. Kali ini Cakra yang mengambil ahli kemudi. Aksara di bangku di sampingnya hampir oleng dan terciduk dasbord. Saking jengkelnya, dia sempat memprotes cara mengendarainya. Cakra sendiri tak menggubrisnya. Yang terpenting, bisa datang tepat waktu dan abangnya bisa terselamatkan. Bobby, di belakang kemudi tampak tertitudur. Walau Wima bisa menyembuhkan lukanya, untuk pengaman secepatnya, harus dibawa ke rumah sakit. Anita di dekatnya, merasa sangat panik. Dirinya takut terjadi apa-apa terhadap pemuda itu.

"Enggak apa, Kak. Ketua akan baik-baik saja," Wima menenangkannya.

Anita mengangguk, menghela napas. Untuk urusan masalah antara Bobby dan Andreana terlupakan. Yang ada kini, pria tersebut bisa pulih kembali. Walau suatu nanti, bisa saja pria tersebut kembali dengan kekasihnya yang dulu, dan menolak cintanya dan dipandang sebelah mata. Itu lebih baik, ketimbang menatapnya sakit seperti sekarang. Bobby segera dibopong menggunakan ranjang troli, membawanya ke UGD. Kata perawat, mereka menunggu bila para perawat membersihkan luka dan pemeriksaan lebih lanjut. Mereka menunggu di ruang tunggu. Cakra memutuskan untuk pulang. Karena Allen sudah mengantuk.

"Biar saya yang membawa mobil melayang kakak ke sini," timpal Aksara."Wima yang membawa mobil saya. Enggak apa, kan?"

"Enggak. Terima kasih. Tolong bilang pada pihak atasan soal ini. Soal penyitaan barang yang disita bagaimana?"

"Kalo soal itu, sudah dibawa oleh pihak kepolisian," kata Wima,"kami pergi dulu. Kalian enggak pulang?" dia menatap ke arah Vitha, yang menggendong Allen menguap dan Cakra di samping.

"Iya, kami mau pulang."

Mereka berpamitan kepada Anita. Sebelum pergi, Cakra berbalik,"Terima kasih. Kakak sudah mau merawat abangku."

Anita tersenyum. Mengangguk pelan.

"Walau kenyataannya pahit. Pasti abangku akan sadar, siapa wanita yang mau menerima apa adanya," ucap Cakra, berbalik, berjalan keluar bersama Vitha.

Anita bergeming. Mencerna perkataan Cakra. Ada cairan bening hangat di kedua pelupuk matanya jatuh ke pangkuannya hingga celana basah. Ya, itu air mata. Tangisannya jatuh. Sudah dua kali dirinya menangis seperti ini. Menangis karena cinta. Pertama, kemarin pulang duluan dengan alasan mendadak. Karena alasannya dia menangis di apartemen-di kamarnya. Terlihat bagaikan seorang bocah kecil yang cengeng. Kedua, dia menangis lagi.

"Kenapa tadi kamu ngomong gitu?" tanya Vitha sudah masuk ke mobil melayang.

"Entahlah. Tapi yang jelas aku tahu, kalo Kak Anita itu sebenarnya wanita yang baik. Aku lihat dari ekspresi dan matanya tadi."

"Aku juga. Apa sebenarnya dia menyukai Ketua Bobby?"

"Enggak tahu. Mungkin. Selama aku tinggal bareng Bang Bobby, setahuku ya jarang ada cewek yang dekat dengannya."

"Kamu enggak apa-apa nanti kembali lagi ke rumah sakit setelah mengantarkan kami," kata Vitha."Abangmu sedang dirawat. Seharusnya kamu ke sana."

"Enggak," jawab Cakra,"aku akan ke sana besok pagi."

Mobil melayang melesat keluar. Menuju arah pulang. Menyusuri jalannya menembus malam. Mereka mampir ke kantor Publik Rama, mengambil barang-barang mereka. Aksara dan Wima yang sudah sampai lebih dulu keluar duluan. Aksara tampak menelepon seseorang-mungkin pihak atasan, selesai menelepon, membawa kunci mobil melayang. Wima membawa barang-barang Anita. Mereka cabut duluan, kembali ke rumah sakit. Cakra membawa barang-barang mereka. Setengah jam berlalu, mobil melayang memasuki kawasan apartemen. Semua di penghuni apartemen mematikan lampu, menandakan malam menjelan. Mobil melayang berbelok ke blok B, dan berhenti di satu apartemen. Lampunya mati dan gelap karena belum dinyalakan. Mobil melayang terhenti di dalam garasi. Vitha menghampiri pintu, membukanya. Membawa Allen ke lantai atas. Cakra masuk meletakkan barang-barang mereka di meja. Vitha keluar beberapa menit kemudian, menuruni tangga.

Vitha and AllenWhere stories live. Discover now