BAB I : KELAS UNGGULAN

99 7 1
                                    

Hari ini aku memasuki kelas baru. Guru-guru bilang, ini adalah kelas unggulan. Jadi aku terpilih menjadi salah satu murid pintar di kelas Akuntansi semester 5.

Tapi aku merasa takut. Pada dasarnya aku selalu takut untuk melakukan hal-hal baru, termasuk duduk di kelas baru, bertemu orang baru, dan suasana baru, apalagi guru-guru bilang mereka semua pintar dalam belajar. Jadi apa yang harus kulakukan? Berkenalan lebih dulu kah atau diam saja menunggu orang lain menyapaku? Kuharap ada murid laki-laki yang mengenaliku meski aku tidak terkenal.

Ada empat teman kelasku dulu juga masuk ke dalam kelas unggulan ini. Mereka cukup dekat denganku seperti pada umumnya teman sekalas, tapi mereka semua perempuan. Jadi aku tak mungkin duduk bersebalahan dengan salah satu dari mereka. Lagi pula aku tidak pernah menjadi diri sendiri ketika berhadapan dengan mereka meski kita teman sekelas.

Fida adalah salah satu yang mungkin paling bisa dibilang dekat denganku. Kami sering bertukar pikiran waktu kelas 11B dulu, aku sering meminta jajan padanya, dan ia sering meminta contekan kepadaku. Tapi aku tak tahu apakah itu akan tetap terjalin ke depannya.

Datang seorang murid berkumis tipis, tubuhnya agak kurus sepertiku, dia lebih pendek satu centi barangkali, tapi dia cukup terkenal karena tampan dan menjadi salah satu bagian tim futsal di sekolah kami. Namanya Willy. Dia menyapaku, "Hai kudengar kamu peringkat satu di kelas 11B?"

"Ya," aku mengangguk.

"Luar biasa bisa satu kelas denganmu." Kemudian dia duduk di depan mejaku bersama seorang perempuan yang mungkin sahabat karibnya. Tapi sungguh, Willy tidak sepertiku yang berpikir panjang ketika ingin berbicara kepada orang baru. Dia sangat ramah, pantaslah banyak yang menggemarinya.

Tampak semua sudah terkumpul menjadi 27 murid. Dan aku duduk sendiri di pojok kelas tanpa teman sebangku. Semuanya berpasangan kecuali aku. Aku pikir ini adalah pertama kali aku duduk di kelas tanpa teman sebangku. Sangat aneh rasanya, tapi aku tak ingin ambil pusing. Lagipula kenapa hanya diambil 27 murid saja? Orang-orang sial sepertiku pasti akan merasa terintimidasi.

Sepulang sekolah aku merasa terpuruk. Aku memikirkan suasana kelas baru, yang baru satu hari kupijakki. Aku merasa ini akan sangat susah untukku. Tidak ada apapun di kelas itu kecuali keheningan dan murid-murid pintar yang sangat fokus untuk menjadi yang terbaik. Setidaknya itu yang kupikirkan saat ini.

Di jalanan menuju rumah, Anhar -teman sebangkuku dulu- menanyaiku tentang kelas unggulan itu. "Bagaimana kelas unggulan?"

"Membosankan," kataku.

"Sudah kuduga," katanya. "Tapi kelas itu impian bagi semua murid ambisius."

"Aku hanya menginginkan nilai bagus, bukan kelas unggulan."

"Aku juga berpikir kenapa harus ada kelas unggulan? Bukankah itu rasis?"

"Tanyakan saja pada gurumu. Aku tak tahu."

Anhar adalah temanku sejak TK, tapi dia sangat banyak bicara dan tak pernah memahami kondisi. Kerjaannya selain tidur adalah mengutip jawaban-jawaban ujianku di kelas. Tapi dia bisa melukis, itu keunggulannya.

"Kamu tahu?" Dia mengoceh lagi. "Belakangan ini aku sudah malas melukis."

"Kenapa?" kutanya.

"Aku mulai berpikir bahwa itu tak ada gunanya."

"Kenapa berpikir seperti itu?" aku mendorong pundaknya sambil tertawa dan terus berjalan. "Bukankah hobi membuat seseorang bahagia?"

"Tapi belakangan aku tak bahagia ketika melukis." Dia menunduk lemah seperti orang yang tak bertulang. "Ayahku memintaku untuk berkuliah di jurusan kedokteran."

"Lalu?"

"Aku menolaknya, tapi kami malah bertengkar. Aku benar-benar sangat tertekan entah apa yang harus kulakukan."

"Kamu masih bisa melukis meski berkuliah di jurusan kedokteran An."

"Aku benar-benar tidak berpikir untuk berkuliah di bidang yang tak kuminati. Sekolah saja sudah cukup membuatku pusing. Aku hanya ingin melakukan apa yang kumau, melukis, mendapatkan uang dari karyaku, bebas."

"Aku tahu apa yang kamu rasakan. Aku tidak bisa membantu apapun. Aku hanya berharap kamu akan baik-baik saja dan bisa mengatasinya."

Aku peduli padanya, sedingin apapun sikapku. Meski kubilang ia banyak bicara, tapi dia juga sering membuatku tertawa. Ngomong-ngomong, tanggal ulang tahun kami hanya dijaraki satu angka. Aku kelahiran 28 Agustus, sementara dia lahir dua hari setelahku. Jadi setiap tanggal 29 Agustus, kami sering bertukar kado dan berdoa bersama di atas jembatan Jalan Nyawa.

Aku benar-benar sedang ingin membicarakan. Ayahnya seorang politikus yang baru-baru ini diangkat menjadi seorang menteri pendidikan, dan ibunya seorang jurnalis. Dia anak orang kaya, rumahnya sangat megah berkali-kali lipat dari rumahku, tapi sangat sepi. Hampir setiap kali ke rumahnya, hanya ada dia dan pembantunya. Kami sering bermain game di rumahnya.

Dulu dia sebenarnya bukan anak tunggal. Kakaknya sangat cantik, terlihat pintar, tapi tidak pernah tertawa, sangat berbanding terbalik dengan Arhan yang ceria, urak-urakan, dan bodoh.

Dulu waktu SD aku sering melihatnya, ia sangat cuek dan kesehariannya membaca buku dengan kacamata tebal. Tapi saat menjelang kelulusannya di SMA, ia manggantungkan diri di kamar mandi, lalu meninggal. Aku tak tahu pasti kenapa ia melakukan hal sebodoh itu, aku masih berusia 10 tahun saat itu.

Setelah kejadian menyedihkan itu, Anhar tidak berangkat selama dua minggu. Lalu ketika ia mulai beraktivitas lagi di sekolah, ia terlihat sangat kurus dan memprihatinkan.

***

Di tepian sungai itu, kami sering melakukan aktivitas hobi kami. Anhar tentu saja suka melukis, dan aku membuat sebuah puisi.

"Lihat, bagaimana menurutmu?" Dia menunjukan lukisannya. Ada seorang pria gantung diri di sebuah pohon beringin, dia tersenyum seperti menyapa kami, di belakangnya sebuah matahari sedang tenggelam, langit-langitnya berwarna jingga dengan burung-burung yang tengah beterbangan, di bawahnya adalah rumput-rumput dengan beberapa bunga warna-warni, di atas pohon beringin itu seperti ada seseorang samar-samar bersayap, ia juga tengah tersenyum, apakah itu malaikat?

"Kenapa kamu melukis hal semacam itu? Apa artinya?" tanyaku.

"Tebak!"

"Apakah itu surga?"

"Bukan."

"Aku tak tahu. Apa artinya?"

Ia menarik napas. Tatapannya ke arah langit. Kebetulan saat itu matahari akan tenggelam, jadi warna langit benar-benar menyerupai apa yang baru saja dilukis Anhar. "Bukankah menyenangkan jika orang-orang seperti ini?" Ia kemudian tertawa.

Aku sangat terkejut mendengar perkataannya. "Aku benar-benar tak tahu maksudmu."

"Bukankah menyenangkan jika bunuh diri tanpa kesakitan? Alih-alih kita akan tersenyum seperti orang di lukisanku. Semua masalah dunia akan lenyap."

Aku hanya tersenyum. Dia benar-benar gila bisa memikirkan hal seperti itu. "Kau benar-benar tidak waras. Ayo pulang, sudah sore, hantu berdaster putih pasti sedang mengantre tempat ini."

AKU INGIN MATI TERSENYUMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang