11. Istana Pasir

389 186 25
                                    


Angin sepoi menerbangkan rambutku hingga menutupi wajah. Butir-butir pasir terbang ke wajahku. Kuhalau dengan tangan supaya tidak membuatku kelilipan.

Aroma yang asing menggantung di udara. Aku mengendusnya, menyerap aroma yang tidak biasa ini. Jadi laut itu seperti ini. Terasa sedikit bacin dan menggelitik hidung, tetapi aku menikmatinya.

Kulihat Suster Gabriella dan Suster Christina sudah turun dari bus. Mereka berdua terhuyung-huyung menuju pantai, jubah dan kerudung hitam mereka berkelepak heboh ditiup angin. Anak-anak yang lain turut berlarian, menyongsong pantai dengan semangat membara. Laut cukup teduh sore ini, ombak mendebur dengan sopan dan tanpa banyak gaya, seakan-akan menghormati kami para tamu muda yang sedang berkunjung ini. Kami memilih hari yang tepat untuk piknik bersama.

Aku turun dari bus dan berhati-hati mendekat ke pesisir. Semakin dekat ke air, semakin dalam kakiku terbenam di pasir. Terasa hangat. Aku menyukainya.

"Lucas?"

Aku berbalik. Suster Gabriella berdiri di belakangku, matanya memicing karena kesilauan. Kulihat Suster Christina sudah duduk di salah satu kios penjual makanan. Ibu panti itu sedang menyeruput seporsi es kelapa muda yang kelihatan segar. Aku kepengin juga, tapi pasti tidak boleh. Kami harus puas dibekali sebotol air dan sepotong kue kering yang sudah agak apak.

"Lucas!"

Aku tersentak. Suster Gabriella sedang menjentikkan jarinya di depanku.

"Ya, Suster."

"Kenapa kamu nggak pergi bermain?"

Wanita gemuk itu menunjuk teman-temanku. Gary dan gengnya sedang berkejar-kejaran. Celana pendek mereka basah karena ombak, dan dua di antaranya bertelanjang dada. Mereka berputar-putar, memekik dan tertawa-tawa karena berhasil ditangkap oleh temannya, lalu segera menggeliat melepaskan diri untuk berlari sejauh-jauhnya supaya tidak tertangkap lagi.

"Saya di sini saja, Suster."

"Pergi main sana sama Gary dan yang lain!"

"Nggak apa-apa. Saya di sini saja, Suster."

Suster Gabriella mendongak ke langit yang biru seperti memohon pada Tuhan, lalu menudingku. "Kita sedang rekreasi di sini, Lucas. Apa gunanya jalan-jalan di pantai kalau kamu cuma berdiri saja di sini?"

Suster Christina juga nggak main di pantai dan malah enak-enakkan minum es kelapa muda.

Aku ingin mengatakan itu. Tapi kalau sampai kalimat itu terucap, aku tahu Suster Gabriella akan mengomeliku. Jangan kurang ajar! Itu membantah! Omelan sejenis itu. Padahal aku hanya akan mengatakan yang sesungguhnya.

Jadi aku hanya diam saja.

"Ayo!" Suster Gabriella mendorongku. Tangannya yang gempal mendarat di punggungku seakan ingin melontarkanku ke laut. "Pergi main sana!"

"Iya, Suster."

Aku menundukkan kepala dan menghampiri teman-temanku. Aku sengaja melangkah selambat-lambatnya, untuk mengulur waktu. Entah sampai kapan Suster Gabriella mau berpura-pura dia tidak menyadari ini. Gary dan teman-temannya tidak suka padaku, makanya mereka tidak pernah mengajakku bermain. Dan karena Gary adalah kepala geng di panti, anak-anak yang lain nggak berani melawannya. Gary selalu memastikan anak-anak yang melawannya untuk mendapat hukuman setimpal. Kasur yang mendadak basah kuyup tersiram air, jatah makanan yang raib tanpa alasan, baju dan sepatu yang tiba-tiba sobek, jumlah cucian yang secara ajaib membludak jadi dua kali lipat, hingga acara "adu nyali" yang selalu berakhir dengan luka.

THE NEW GIRL 3: OBLIVION (TAMAT)Where stories live. Discover now