10. Di Rumah Sakit

417 202 28
                                    


Kuusap garis-garis darah dari sikuku. Aku tidak sadar aku terluka. Mungkin terkena sambaran onak duri Meredith.

Kunyalakan keran air di westafel dan kubasuh luka itu. Setelah itu kucuci mukaku dan kubasahi sedikit rambutku yang sudah mengembang. Segar. Andai saja bisa, aku kepengin berendam di bak mandi air panas saat ini.

Begitu selesai, kuambil handuk dan kuseka wajah, kepala, dan sikuku yang berdarah. Perihnya baru terasa setelah dibasuh air begini. Mungkin sebaiknya dioles Betadine, tapi... aku tidak mau menyibukkan orang-orang dengan luka kecil ini.

Bayanganku di cermin balas menatapku. Lenyap sudah gadis cantik yang naik helikopter untuk ke pesta ulang tahunnya. Yang ada sekarang hanyalah remaja lelah berkaos oblong yang sangat mengantuk.

Happy birthday, Jen. Kutarik kedua bibirku, mencoba tersenyum. You're seventeen now. Gimana rasanya jadi orang dewasa?

Banyak teman-temanku yang sudah nggak sabar jadi dewasa. Katanya jadi dewasa itu menyenangkan. Kita bisa melakukan lebih banyak hal, tanpa perlu melulu bergantung pada orangtua. Satu hal yang sering terlupakan adalah tanggung jawab. Jadi dewasa itu membawa banyak kebebasan sekaligus tanggung jawab, aku pernah baca quote itu dari suatu novel karangan penulis favoritku, Kai Elian.

Dengan jari-jariku, kusisir rambutku yang lembab, menatanya supaya tampak lebih layak. Ada hairdryer, tapi aku tidak mau ambil risiko bikin rambutku tambah mengembang.

Apa yang dipikirkan Toni saat menatap bayangannya di cermin?

Pertanyaan itu tercetus begitu saja. Dibandingkan dengan diriku sendiri, aku merasa cukup puas menjadi Jennifer Darmawan. Bukannya aku komplain, toh aku nggak sempurna juga. Aku nggak secerdas Meredith atau se-gercep Tara dalam bertindak. Mataku tidak biru seperti Carl, dan aku tidak punya kakak yang asyik seperti Reo. Meski begitu, aku merasa baik-baik saja. Menjadi seorang Jennifer Darmawan tentu nggak gampang, tapi aku nggak bisa membayangkan menjadi yang lain.

Sepenggal masa lalu Toni yang kurasakan tempo hari sangatlah kelam. Dia ingin mengubah hidupnya, dan sudah berhasil melakukannya. Nggak sampai di situ, sekarang dia dan Lucien juga mengacak-acak kehidupan semua orang. Di mataku, seorang Antoinette Darmawangsa sudah mendapatkan segalanya.

Tapi rupanya Toni masih belum puas dengan dirinya sekarang. Kenapa dia masih menyerang? Di Festival Sekolah, Toni bilang dia membenciku yang dianggapnya begitu "sempurna". Apa dia belum menyadari bahwa dialah yang sebetulnya sempurna?

"Jen?"

Arini mengetuk pintu. Aku tersentak dan menjatuhkan handukku.

"Kamu baik-baik aja? Kaosnya pas, kan?"

Kurapikan sedikit kaos yang kupakai. Arini membelinya entah dari mana. "Iya, Arini. Aku lagi keringin rambut."

Kuseka lagi kepalaku cepat-cepat, lalu membuka pintu kamar mandi. Arini berdiri di sana; dia sendiri belum berganti pakaian. Tampangnya cemas.

"Kamu mau makan sesuatu, Jen? Atau minum?"

Kutolak penawarannya dengan gelengan pelan. Arini membimbingku ke arah tempat tidur. Lampu kamar sudah diredupkan, dan dalam cahaya temaram seperti ini, sosok yang terbaring di atas tempat tidur itu tampak amat asing.

Kudekati dia dan kuraih tangannya. Mom masih tidak bereaksi. Dia sudah seperti ini sejak dibawa ke rumah sakit. Serangan Lucien membuat ibuku koma.

THE NEW GIRL 3: OBLIVION (TAMAT)Onde histórias criam vida. Descubra agora