17. Api Dari Langit

404 195 60
                                    


Aku bertumpu ke tanah dan mencoba menstabilkan diri. Kaki-kaki yang mondar-mandir di sekitarku menghalangi pandanganku. Bangau kertas itu tergeletak beberapa senti dari ujung jariku dan aku merasakan dorongan yang sangat kuat untuk menggapainya.

Tiba-tiba benda itu berpijar.

DHUAAAAAR!

Ada ledakan cahaya yang disertai dorongan dahsyat. Tubuhku terangkat beberapa senti dari tanah dan terempas, rasanya sakit bukan main. Sekilas kuperhatikan orang-orang di sekelilingku juga merasakan serangan itu; mereka terpental ke semua penjuru seperti pin-pin yang ditabrak bola boling. Mataku separuh buta, telingaku berdenging, dadaku sesak seolah ditimpa setumpuk batu bata, seluruh tulang dan persendianku ngilu. Wajahku terluka tapi aku tidak tahu di mana, darah yang kental dan hangat mengucur dan membasahi bibirku, terasa asin dan hangat.

"Ryu-san!" Aku berteriak sekeras-kerasnya, tapi tak dapat mendengar suaraku sendiri. Asap mengepul seperti kabut di daerah pemakaman, begitu mencekam, begitu mencekik leher. "RYU-SAN!"

Tubuh-tubuh bergelimpangan, beberapa yang masih sadar hanya bisa melolong panik, bingung akan apa yang baru saja terjadi. Ryu-san tergeletak tak sadarkan diri beberapa meter dariku tempatku mendarat, tubuhnya terlentang dan kepalanya berdarah. Aku merangkak untuk mendekatinya, tetapi ada sesuatu yang lain yang menarik perhatianku. Samar-samar dari balik asap pekat, aku melihat si anak kecil. Hanya dia satu-satunya yang berdiri tegak, wajahnya yang menggemaskan tampak polos dan tidak berdosa.

Tatapan kami bertemu. Anak itu menyeringai dan melambaikan tangannya.

Kumantapkan pijakanku, lalu kudorong diriku untuk bangkit. Tanah seperti berubah menjadi air laut, bergoyang-goyang tidak stabil. Sebuah lubang berdiameter tiga meter menganga di titik bangau kertas itu meledak, seperti mulut raksasa lapar.

Anak kecil itu tertawa, dia berbalik dan mulai melompat-lompat pergi.

"Tu-tunggu!" Kukejar dia, suaraku serak dan pecah. "Toni! Kamu mau ke mana?"

Kakiku tersandung tubuh-tubuh yang pingsan, dan aku nyaris terjerembab lagi. Anak itu bergerak gesit seperti bayangan sambil bersenandung riang, sama sekali tidak terhalang oleh tubuh-tubuh di tanah. Kemarahanku bangkit. Tega betul dia! Begitu banyak orang yang terluka dan dia sama sekali tidak merasa bersalah! Meskipun urat-urat di wajahku berdenyut-denyut dan tengkorakku nyeri tak terperi seperti dipukul palu, aku tetap bergerak maju. Kali ini, aku tidak akan melepaskannya!

"TONI!"

Aku membelalakkan mata lebar-lebar, berusaha untuk tidak kehilangan sang pengendali realitas. Sosoknya tampak berubah perlahan-lahan; seakan ada kekuatan magis yang menariknya, tubuhnya mengulur dan pakaiannya juga berubah, semakin lama semakin besar, hingga dia bertambah tinggi. Dalam beberapa detik saja, anak kecil tadi telah menjelma menjadi gadis anggun dengan rambut panjang bergelombang; sosok Antoinette Darmawangsa yang kukenal.

Aku tidak tahu sudah berada di mana sekarang. Kami sudah cukup jauh dari area kerumuman. Langkah-langkah Toni melambat. Dia menaiki sederet tangga di plaza depan yang mengarah ke pintu utama Monas, masih dengan langkah-langkah ringan tanpa beban, lalu mendadak berhenti.

"Halo, Jen..."

Aku mengenali suaranya. Itu betul-betul dia—Antoinette Darmawangsa yang secantik boneka , dalam balutan gaun merah lebar bermotif bunga. Aku bisa merasakan chi bergelora di dalam diri gadis ini, seperti nyala api.

"Kenapa..." Tenggorokanku kering seperti baru menelan pasir. "Kenapa kamu melakukan semua ini, Toni?"

"Nice to meet you too," balas Toni dengan suaranya yang merdu. Dia sama sekali tidak kelihatan takut atau cemas. "You look... awful, Jen. Hidung kamu patah, apa kamu nggak merasakannya?"

THE NEW GIRL 3: OBLIVION (TAMAT)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ