Aku mengangsurkan kotak kado yang dibungkus kertas warna biru bercorak abstrak. Kafka menerimanya dengan menyebut nama robot yang ada di dalamnya. Ya, tebakannya memang benar. Dia ternyata sudah punya dua. Anak itu tak menolak kuberi, tapi dia masih berkata jika ini tidak dihitung sebagai hadiah. Kapan-kapan aku harus mengajaknya pergi ke Mal lagi untuk membeli mainan lain. Dia yang akan memilihnya sendiri. Halah, terserah.

"Wah, dedeknya udah gede aja ini." 

Beranjak menjauhi Kafka karena jika tidak aku pasti akan pusing sendiri mendengar celotehannya yang tidak berujung macam jalan raya di sepanjang pulau Jawa. Aku mendekat kepada Mbak Tiara yang menimang-nimang seorang bayi, anak ke-empatnya.

"Hai Tante Dian."

Mbak Tiara menggerakkan tangan kanan anaknya seolah melambai kepadaku. Suaranya dibuat kecil, mungkin agar bisa menyamai suara anak kecil.

"Hai, namanya siapa?" Aku memegang lengannya yang gembul. Bayi bermata sipit ini mirip seperti kakak-kakaknya.

"Janu."

Allahu Akbar, Kak Raka. Dia harusnya membeli buku yang berisi kumpulan nama bayi dulu sebelum anaknya lahir. Juna, Juno, Juni dan Janu. Sangat-sangat tidak kreatif atau bisa juga dibilang tak mau berpikir lebih. Aku yakin, jika setelah ini Mbak Tiara hamil lagi, nama anaknya tetap tidak akan jauh-jauh dari huruf J dan N. Kutebak, jika perempuan bernama Jani dan jika lelaki lagi akan diberi nama... mungkin Jono.

"Aku boleh gendong nggak, Mbak." 

"Boleh dong." 

Mbak Tiara lantas memberikan Janu padaku. Untungnya anak itu bukan anak yang mudah menangis jika jauh dari ketiak ibunya. Kubawa Janu menuju sofa, duduk di sana dan mengambil gawai. Aku ingin berfoto dengannya. Iseng-iseng nanti akan kujadikan story di sosial mediaku. Bayi ini meraih ujung pashminaku dan memainkannya. Aku agak menunduk, kutempelkan sebelah pipiku ke pipinya yang bulat macam kue bakpao. Satu bidikan lagi, selesai.

"Ana duluan!"

Teriakan dari arah samping menginterupsiku. Di sisi kiri taman di dekat ayunan, ada Juni, Ana dan Kafka. Itu tadi bukan teriakan dari Ana, tapi adalah Juni yang kini berkacak pinggang dan berhadapan dengan Kafka. Di belakang Juni, Ana berdiri menunggu.

"Ayunan ini punyaku!" Kafka mengunggulkan kepemilikan.

"Iya, Juni juga tahu kalau ini punya Kak Kaf, tapi Ana mau main ayunan juga." Juni masih berkacak pinggang, suaranya melengking tinggi.

"Aku duluan. Nanti baru gantian Ana." Sepertinya Kafka tak mau mengalah.

"Ana nggak setiap hari di sini. Pinjem sebentar doang, pelit."

Aku tergelak kecil saat Juni menjulurkan lidah. Mengamati percakapan mereka membuatku paham jika Juni sedang membela Ana dari Kafka yang tak mau mengalah sebentar saja. Dasar anak-anak. Aku menunduk dan mendapati ujung pashminaku tengah dimakan Janu. Aduh, aku bisa dicincang Kak Raka nanti jika anaknya memakan kain.

"Papaaaaaa ...."

Sontak menoleh lagi ketika lengkingan tinggi mengudara. Kafka dan Juni jambak-jambakan sampai terjatuh ke rumput. Berguling-guling mereka di sana. Mas Arya dan Kak Raka cepat tanggap, tak butuh waktu lama kedua pria itu sudah melerai anak-anaknya. Sebenarnya, bukan saling menjambak, Juni lah yang menjambak Kafka dan anak lelaki itu melindungi kepalanya sendiri. Dia berguling mungkin untuk menghindari Juni, tapi Juni malah ikut terjatuh menindihnya. 

"Kak Kaf pelit." cibir Juni, juluran lidahnya masih panjang. Padahal dia sudah dipeluk dari belakang oleh ayahnya. Pun sama dengan Kafka, dia juga dipegangi oleh Mas Arya. Kaki kiri Juni masih terayun-ayun ingin menendang Kafka, tapi tubuh kecilnya langsung dijauhkan oleh Kak Raka.

"Ck ck, kalau ketemu berantem mulu kerjaannya."

Mbak Tiara mendekat padaku, setelah... aku tak tahu dia dari mana. Dia lalu memberikan mainan kepada Janu.

"Udah pantes lho, Dek." serunya menggodaku.

Hah, ini yang tidak kusukai jika sedang berkumpul dengan banyak orang. Basa-basi yang menjurus ke arah pernikahan.

"Iya 'kan, Nan?"

Mbak Tiara mencari sekutu, sahabatnya yang sejak tadi duduk di seberang sofa yang kududuki. Saat Kafka dan Juni berseteru, Mbak Kinan memang hanya diam menonton sambil mengusap-usap perutnya yang besar. Mungkin dalam hati dia sedang berdoa agar bayinya tidak seperti Kafka atau pun Juni. Hari perkiraan lahirannya tinggal menunggu hitungan hari. Mungkin itu juga yang membuat Mbak Kinan tak mau banyak bergerak.

"Aku heran sama mereka berdua, dari dulu nggak pernah bisa akur." tutur Mbak Kinan tanpa mau menyahuti ucapan dari Mbak Tiara, yes. Pasang matanya terus menatap ke arah taman.

Aku mengikuti arah pandang Mbak Kinan dan Mbak Tiara. Terlihat Juni yang tengah mendorong ayunan yang diduduki oleh Ana. Persis seperti seorang kakak yang sedang menjaga adiknya.

"Itu Juni minta adik cewek kali, Mbak." Yeay, aku bisa membalas Mbak Tiara.

Mendecak pelan. "Iya, kemarin pas Janu lahir dia marah sama aku. Katanya minta adik cewek kok malah dikasih cowok. Sama kayak Ara dulu juga ngambek pas aku ngelahirin Juna sama Juno."

"Hah, Ara ngambek sama Mbak Tiara?"

"Iya, Ara request satu buat temen main boneka. Terus pas Juni lahir dia deh yang kasih nama."

Aku manggut-manggut. "Oh, jadi Juniara itu ...."

"Tambahan dari Ara. Biar kembar."

Astaga, memangnya bisa kembar beda rahim? Aku pun hanya mengangguk-angguk lagi, ternyata banyak momen yang kulewatkan selama ini.

"Makanya dia bisa sayang banget sama Ana." imbuh Mbak Tiara lagi. Ya, kedua anak itu memang manis.

Bersambung.

Sekelumit RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang