2.2

112 14 0
                                    

Sotya's Story

🚂🚂🚂

Sotya gondok sekali dengan Anita. Bisa-bisanya lelaki yang katanya baik dan sudah mapan itu nyatanya kategori undefined human being? Namanya siapa, pekerjaannya apa dan orang mana saja tidak jelas. Meskipun ia butuh lelaki untuk dijadikan suami tapi bukan asal mengenalkan saja dengan lelaki yang katanya siap menikah. Nyatanya? Bahkan lelaki itu saja tak pernah menghubunginya. Adapun seseorang yang mengaku saudara lelaki itu justru yang menghubunginya. Sampai di situ ia masih maklum mungkin mereka akan berhubungan ala ta'aruf. Yang membuatnya meradang adalah hal berikutnya ketika ngobrol panjang kali lebar kali tinggi dengan tema saling mengenal, ujung-ujungnya dirinya yang dihina secara tidak langsung dan pihak sana mengatakan betapa sibuknya sang lelaki yang pada akhirnya ia ketahui pekerjaannya tidak lebih baik darinya. Ia sampai menahan diri untuk tidak mengeluarkan sumpah serapah sebab pekerjaan lelaki itu adalah halal. Yang tidak disukainya adalah sikap tinggi hati mereka yang mengatakan betapa pentingnya pekerjaan lelaki itu seolah seperti seorang CEO atau pejabat tinggi negara yang sibuk mengurus banyak hal, nyatanya?

Yang membuat Sotya sangat kesal adalah Anita menyalahkannya ketika dirinya menolak bertemu. Untuk apa bertemu jika lelaki itu sendiri tak ada niat untuk memulai? Bahkan dengan jumawanya pihak sana mengatakan sang lelaki sangat sibuk. Sibuk? Ha! Ia yang tengah berkutat dengan deadline saja masih bisa meluangkan waktu sebentar. Kalau memang ta'aruf, kenapa dirinya tak ada wali yang mewakili? Lalu, wajah lelaki itu seperti apa? Penghasilannya berapa? Keluarganya bagaimana? Bahkan hal-hal dasar saja tak pernah ada dalam pembicaraan mereka. Usianya berapa? Itu pun ia tak tahu. Ia tak ingin kejadian dulu terulang saat diperkenalkan dengan lelaki yang katanya pemilik sebuah usaha kecil-kecilan tapi yang jadi masalah adalah usianya lima puluh tahun. Apa ia seputus asa itu?

Sungguh minggu yang membuat kepala Sotya ingin meledak. Belum selesai rasa kesalnya, pekerjaan yang ditawarkan padanya untuk dicoba melamar ke sana juga gagal. Usia yang diminta maksimal 28 tahun dan ia lebih tua dua tahun. Kemudian, persyaratan dilarang menikah selama dua tahun pertama. Awalnya ia bimbang tapi akhirnya menyanggupi demi sebuah pekerjaan karena toh jodoh tak akan lari jika memang jodoh. Hanya saja ketika ia mengerjakan soal tes, ia tahu dirinya pasti gagal sebab lebih dari setengah ia tidak bisa mengerjakannya karena sudah lama otaknya tidak diasah dan sejak kecil selalu lemah di hitungan.

Sotya yakin gagal sebab kata tantenya, perusahaan tersebut butuh pegawai segera. Kalau cocok langsung bekerja saat itu dan nyatanya ia dijanjikan akan dipanggil lagi nanti. Setidaknya ia sudah berusaha.

Selama perjalanan pulang dari melamar bekerja, Sotya iseng membuka tabungannya melalui aplikasi m-banking untuk melihat jumlahnya. Lalu terbersit hal gila bahwa ia ingin melarikan diri daripada stres menggunakan uang yang sangat disayanginya dan ditabung dengan susah payah.

Sotya pun memutar otak, jika ia kabur, kabur ke mana? Kalau sekedar ke Malang atau Batu tak akan ada alasan baginya untuk menginap. Harus yang jauh tapi tidak terlalu jauh dan biaya hidupnya affordable. Terjangkau. Sebab mustahil jika ia bisa mencari dan mendapatkan tempat tenang yang murah dalam waktu relatif singkat. Setelah berpikir cukup keras, akhirnya ia memutuskan ke Jogja saja. Jauh tapi tidak terlalu jauh, lingkungannya tidak berbeda dengan kesehariannya dan biaya hidup masih terjangkau. Ia pun mencari tahu harga tiket kereta, penginapan dan biaya hidup lebih lengkap.

Karena komuter Surabaya-Sidoarjo sudah tiba di kotanya, ia pun segera turun dan pulang. Setelah menyampaikan secara singkat masalah lamaran pekerjaan, ia segera ganti baju.

Di dalam kamar, ia kembali dengan misinya. Setelah dihitung, ternyata tidak bisa sok kabur hingga sebulan apalagi berbulan-bulan macam kisah-kisah yang tertulis dalam cerita fiksi. ATMnya berseri. Terbatas pula. Tapi meski singkat, ia butuh menghilang sejenak. Siapa tahu di Jogja dapat pekerjaan dengan mes? Rezeki tak ada yang tahu kan?

Usai beres menghitung seluruhnya, Sotya langsung memesan tiket. Ia ingin pergi besok tapi ia tak punya alasan kuat. Bagaimana pun ia tidak bisa minggat tanpa pamit. Ia hanya butuh refreshing sejenak. Ia pun memesan untuk kereta lusa. Dan pada orang tuanya ia katakan dapat tiket gratis dari pembacanya yang sedang cuti dan mengajak liburan bersama.

Apakah orang tuanya melepas dengan mudah? Tentu tidak. Berbagai pertanyaan diajukan yang dengan mudah dijawabnya. Ia terpaksa berbohong dan tiket yang katanya gratis itu membuat mereka luluh karena tidak enak jika ditolak padahal sudah dibelikan apalagi harganya tidak murah.

Tak henti-hentinya Sotya bersyukur rencana kaburnya tak ada hambatan sejauh ini. Ia terpaksa berbohong agar tetap waras. Serba salah jadi jomlo menahun tanpa ada datangnya hilal calon suami potensial dan tidak adanya penghasilan setara UMR minimal. Jika ia menolak dikenalkan pada yang katanya lelaki potensial l, katanya sombong dan tukang pilih-pilih padahal cantik juga tidak. Kalau ia menolak tawaran lowongan pekerjaan, katanya menolak rezeki.

Setelah izin diterima, segera Sotya mempersiapkan segala keperluannya. Ia tak hanya membawa baju santai, ada juga baju yang pantar untuk digunakan bekerja termasuk alas kakinya. Ia bersungguh-sungguh jika selama di Jogja terdapat pekerjaan, ia tak segan-segan untuk pindah dan tinggal di Jogja. Demi tidak dikatakan menganggur, padahal ia tidak menganggur. Hanya saja menjadi penulis yang royaltinya masih Senin-Kamis memang lebih banyak diragukan dan di cap sebagai seonggok pengangguran yang kerjanya hanya rebahan sambil bermain ponsel sepanjang hari. Apalagi ia tidak ada perangkat menulis lain selain ponsel. Laptopnya sudah lama rusak dan ia belum mampu beli baru. Ia akan bertahan dengan ponsel selagi bisa.

📝📝📝

Assalamu'alaikum, hai hai ... Sotya datang lagi nih. Masih pada nungguin nggak? 🤔

Sidoarjo, 13-01-3022

City Series: YogyakartaWhere stories live. Discover now