2.1

123 18 7
                                    

Rein's Story

🚂🚂🚂

Aroma khas ketika cairan hitam pekat itu keluar dari mesin kopi di atas gelas espresso menyebar di seluruh ruangan. Suara mesin blender juga suara mesin kopi menyambut Rein saat pintu kedai kopi berwarna khas hitam juga hijau itu terbuka.

Rein memejamkan matanya, menikmati aroma kopi yang masuk ke dalam syaraf hidungnya. Mengirim sinyal ke otaknya. Rasa tenang juga rindu.

Rindu menghidu tepatnya. Bulan Juli lalu ia sempat kehilangan kemampuan salah satu inderanya ini. Anosmia namanya. Benar-benar tak bisa mencium aroma apapun selama hampir 1 minggu lebih. Faktor itu juga yang membuatnya tak nafsu makan selama seminggu.

Kini saat semua aroma itu bisa tercium tanpa hambatan ia mengucap syukur berkali-kali. Ia masih diberi kesempatan bernapas dan juga mencium aroma yang ia sukai. Kopi. Ia bersyukur kembali bernapas saat dimana beberapa rekan kerjanya akhirnya kalah dengan virus yang sedang mereka hadapi.

Sapaan ramah barista bercelemek hitam mengawali Rein untuk memesan kopi kesukaannya. Asian Dolce Frapucinno with triple shoot.

"Ok, saya bacakan pesanannya. Kak Rein, asian dolce frapucinno ukuran grande dengan ekstra double shot," ucap barista di depan Rein tersebut sebelum gadis itu melakukan pembayaran.

Sambil menunggu barista yang memiliki papan nama Ryan itu menyerahkan struk belanja miliknya. Ia mengedarkan pandangan ke penjuru kedai kopi. Mencari posisi duduk yang nyaman.

"Atas nama Kak Bian dengan satu americano ice!" teriak barista lain saat membacakan pesanan pembeli yang sudah jadi. Sosok laki-laki berjaket jin dan celana loreng berjalan ke area pengambilan pesanan. Rein mengernyitkan dahi begitu sosok itu berada tak jauh darinya. Lelaki ini penolongnya tadi.

"Oh, namanya Mas Bian," lirih Rein.

Setelah Rein menerima struk pembayarannya. Gadis itu dipersilakan menunggu pesanannya dibuatkan. Ia melangkah ke kursi yang berada tak jauh dari pintu masuk.

Begitu ia duduk, tanpa sengaja ia melihat kursi pelanggan kedai kopi yang berada tepat di seberangnya. Ternyata lelaki bercelana loreng tadi berada di sana bersama temannya yang juga bernampilan sama hanya warna jaket yang membedakan.

"Permisi, boleh saya duduk di sini?" Tiba-tiba tanpa Rein sadari karena ia sibuk dengan ponselnya, Bian, lelaki bercelana loreng tadi sudah berdiri di hadapannya. Gadis berhijab itu baru saja meminum kopinya hanya menatap lawan bicaranya karena terkejut.

"Oh, silakan," jawab Rein agak ragu.

Setelah dipersilakan, lelaki itu pun duduk di hadapannya. Saat sosok lelaki itu duduk Rein hanya diam mengamati.

"Sendiri, Mbak?"

"Iya, Mas. Masnya tadi yang bantu saya nyebrang kan?"

"Iya, Mbak," jawab lelaki itu setelah meminum americano ice miliknya. Rein mengerjapkan matanya saat berhasil merekam wajah lelaki itu. Ia seperti tak asing dengan wajah itu. Gadis itu menundukkan wajahnya kembali saat lelaki itu menyadari bahwa ia sedang diamati.

"Masnya sendiri? Kayaknya tadi bareng temennya, ya, di sana tadi?" tanya Rein sambil menuju kursi yang berseberangan.

"Oh, pulang duluan tadi, istrinya udah selesai belanja. Mbaknya liburan?"

Rein tertawa saat mendengar kalimat lelaki di hadapannya, ia meminum segelas kopinya sejenak lalu menatap lawan bicaranya. "Saya asli sini, Mas. Biasa, pulang kampung."

"Jogjanya mana? Habis mudik dari mana?"

"Oh, dekat terminal lama, Mas. Saya merantau di Semarang."

"Terminal lama? Wah, saya bukan asli Jogja. Terminal lama itu mana, ya?" Rein pun menjelaskan arah agar sosok di depannya paham.

"Kalau Masnya emang asli mana?"

"Magetan saya, Mbak. Oh, iya kita belum kenalan. Saya Biantara, biasanya pada manggil saya Bian. Cuma beberapa senior manggil saya Tara. Terserah Mbaknya, mau manggil yang mana. Kalau Mbaknya?" Rein tersenyum tipis saat mendengar asal lelaki ini. Lagi-lagi area Magetan dan sekitarnya.

"Mas Tara aja, ya, boleh kan? Kalau saya Rein bukan Rain ya, Mas."

"Boleh aja, Mbak. Kalau Rain jadi Mbak hujan, dong." Rein pun tertawa yang kemudian menular pada Tara. Mereka akhirnya terlibat pembicaraan yang seru kadang diselingi tawa.

Rein sosok yang tertutup jika dengan orang baru. Entah kenapa ketika dengan Biantara ini rasa canggung justru tidak ada. Ia nyaman-nyaman saja berbicara panjang lebar pada lelaki yang baru dikenalnya itu.

Ponsel Rein berdering, nama adiknya muncul di layar ponselnya. Gadis itu meminta izin pada Tara untuk mengangkat panggilan itu. Tak butuh banyak waktu untuk berbicara dengan sang penelepon. Raihan, adik Rein hanya mengabarkan ia sudah memasuki area Malioboro.

"Mas, saya udah dijemput adik saya. Saya duluan, ya," pamit Rein seraya membereskan gelas kopinya yang habis.

"Mbak, boleh minta nomernya?" Tara mengangsurkan ponselnya.

Rein pun mengangguk lalu mengetik deretan angka yang ia hafal.

"Ayo, saya temenin ke depan," tawar Tara, setelah mereka membuang botol bekas kopi yang telah habis. Self cleaning memang sudah menjadi tradisi di kedai kopi satu itu.

Mereka pun berjalan beriringan menuju tepi jalan yang dikhususkan untuk pedestrian itu. Tak lama mobil adik Rein terlihat.

"Itu mobilnya, mari, Mas," pamit Rein, lalu ia masuk ke pintu penumpang yang berada di sisi supir sebelumnya ia memasukkan tas miliknya di bangku belakang.

"Mas tentara siapa, Mbak? Pacar? Mbak tadi pulang sama pacar?" cecar Raihan yang penasaran dengan sosok lelaki tadi.

"Enak aja, tadi kenalan di kedai kopi. Dia juga kerja di sini kok. Di Lanud Jogja sini. Eh, jangan-jangan junior suaminya temenku, ya?"

"Wah calon kayaknya nih," celetuk Raihan diiringi tawa cekikikannya. Rein pun hanya tertawa.

Mobil mereka pun bergerak perlahan meninggalkan area Malioboro yang sudah tampak ramai. Rein menatap jendela, mengamati situasi Malioboro dengan adaptasi new normal sekarang. Lagi-lagi ia bersyukur masih bisa melihat Malioboro dan kesibukannya juga jajanannya yang makin lengkap.

🚂🚂🚂
Haloo ada yg menunggu kisahnya Mbak Rein? 🤭🙄
Kali ini double update..

Semarang, 14/1/2022

City Series: YogyakartaWhere stories live. Discover now