Tubuh Senja hanya bisa menegang, membuat tubuhnya kaku adalah satu-satunya cara untuk paling tidak bertahan sampai Juna puas melampiaskan kemarahannya.

Sampai kapan seperti ini? Dia sudah biasa, tapi dia tak ingin terbiasa.

•••••

Sedangkan di lain kota, Abi tengah berusaha menghubungi adiknya. Dia terlalu sibuk. Sampai-sampai kabar bahwa Afni pergi ke luar negri baru dia dapatkan hari ini. Dari mulut ibunya langsung.

Beberapa minggu sebelum ini tak sekalipun mereka bertukar kabar. Sama sekali. Abi merasa gagal sekali lagi, "Angkat, Num!"

Laki-laki itu meraup wajahnya kasar. Panggilannya diabaikan untuk kesekian kalinya. Tak ada jawaban, bahkan tak ada satu balasan pesanpun dari sang adik.

Abi menghempaskan tubuhnya ke sofa, mulai menyerah untuk menghubungi gadis itu. Dengan putus asa, dia mencoba untuk yang terakhir kali.

"Angkat, Dek. Kakak khwatir sama kamu," dia memijat pangkal hidungnya pelan.

"Kusut amat tuh, muka. Kenapa?" Abi terkejut saat bahunya ditepuk dari belakang. "Mau ngapain? Gue lagi pusing, nggak usah aneh-aneh sekarang."

Adit, cowok berambut ikal yang merupakan teman kerjanya selama dua tahun itu duduk disampingnya. Memberikan pukulan ringan dilengan Abi. "Ye... Gue serius nanya kali."

Kedua laki-laki itu diam. Abi yang masih berharap mendapat balasan, dan Adit yang tak tau harus berbuat apa. Jika didekat Abi, jiwa pecicilannya akan menguap entah kemana. Aura temannya itu cukup bisa mengendalikan perilaku orang-orang disekitar mereka, termasuk dia sendiri.

"Ada masalah?" tanya Adit membuka percakapan lagi, Abi hanya berdeham acuh sebagai jawaban. Cowok rambut ikal itu menghela nafas panjang, bicara dengan Abi sangat sulit menurutnya. Perlu banyak usaha. Padahal mereka sudah bersama selama dua tahun ini, bahkan tinggal dibawah atap yang sama. Tapi tak pernah sekalipun Abi terbuka pada dirinya atau yang lain.

"Cerita, Bi. Ada apa?" laki-laki itu menyandarkan punggungnya ke kursi yang mereka duduki. Tatapan mata Abi menerawang jauh kedepan. "Jangan egois. Kita disini selalu cerita ke lo kalau lagi ada masalah. Jadi kalau lo gantian mau cerita, gue pasti dengerin. Sama kayak yang lain."

"Gue mau balik kayaknya." ini lagi, entah sudah berapa kali Abi menyampaikan niatannya untuk pulang. "Adek lo?" dia mengangguk lemah sebagai jawaban.

"Ada masalah apa? Urgent banget?"

"Gue nggak tau. Belakangan ini gue sering kepikiran rumah. Tapi lo tau sendiri, kerjaan kita nguras banyak waktu. Gue ngerasa nggak berguna buat adek sama ibu." Adit terdiam sejenak. Menatap wajah teman disampingnya itu, muram sekali. "Ngomong apa, sih? Emang lo kerja sekarang buat siapa kalau bukan buat mereka?"

"Tapi gue lalai sama tanggung jawab gue yang lain, Dit."

"Tanggung jawab yang mana? Yang lo lakuin itu udah lebih dari cukup." Abi terkekeh, melirik Adit sekilas. "Gue anak pertama, laki-laki. Harusnya nggak kayak gini, tanggung jawab laki-laki nggak sebatas masalah uang 'kan?"

"Danum berkali-kali bilang gitu. Dia bener, gue terlalu egois sama pilihan gue." Adit menepuk punggung Abi pelan. "Lo cuma lagi capek aja, Bi." ungkapnya berusaha membuat Abi lebih tenang. "terus Danum---"

"Panggil dia Senja." potong Abi dengan raut wajah tak bersahabat. "Sorry, sorry. Senja maksudnya... "

"Dia mungkin lagi kangen abangnya."

Abi mendesah pelan. Entahlah, kepalanya pusing. Dia ingin pulang, tapi meninggalkan pekerjaannya disini sebelum selesai juga tidak mungkin.

Ting.

Danum SenjaWhere stories live. Discover now