6. Retribution

3 3 1
                                    

Sudah ku duga, malam pukul 7 Mama belum pulang. Ayah juga tidak kembali sejak sabtu. Kadang, kalau malam-malam sendiri di rumah cukup menegangkan, aku duduk di luar gerbang apartemen saja, biasanya ada orang disana hanya sekadar mencari sinyal atau duduk-duduk santai.

Ah, rupanya tidak ada orang. Kalau begitu, aku duduk saja, mengeluarkan ponsel pintar dan memencet nomor baru. Ya, nomornya Bae Sumin. Bagaimana aku harus chat dia ya? Simpel saja deh, aku akan bilang kalau ini Hyeongjun. Wah, dia cepat sekali balasnya. Sumin juga sering menggunakan emoji, benar-benar gadis manis yang interaktif. Tapi, aku masih suka ke Yuri kok. Dari chatting kami di salah satu aplikasi pesan, aku mendapat informasi kalo Sumin adalah mahasiswi Universitas Simjin, dia lebih tua dariku meski selisih satu tahun. Haha, masa iya aku panggil dia 'Nuna'? Wajahnya tidak menunjukkan kalau dia pantas dipanggil 'Nuna'.

"Hyeongjun."

Sedang asyik-asyiknya membalas pesan Sumin, ayah memanggilku. Dia jalan menuju tangga apartemen. Ah, kenapa ayah pulang. Oh, hanya saja sedikit berbeda dari biasanya, ayah kelihatan senang dan lebih kalem dari biasanya. Terlebih lagi, dia sedang membawa tas miring kecil.

"Ayah?"

"Masuk, ayah mau memberitahumu sesuatu. Kita tunggu ibumu juga."

Ayah mengalungkan satu tangan ke leherku. Kami berdua sama-sama jalan ke kamar apartemen. Belum satu menit aku di dalam apartemen, Mama sudah pulang. Ayah dan aku sedang duduk berhadapan.

"Oh, kamu pulang, sayang. Sebentar ya, aku buatkan makanan dulu."

"Tidak usah, duduk di samping Hyeongjun, aku tunjukkan sesuatu pada kalian."

Mama menaruh tas gendong yang biasa dibawanya bekerja. Lalu duduk di sebelahku. Ini cukup menegangkan, tumben sekali ayah melakukan ini pada kami. Mula-mula, kami bertiga diam, ruangan ini jadi sunyi dan hanya terdengar suara kipas angin berderu menghadap kami. Lalu, ayah meletakkan tas kecil tadi di meja. Dibuka resleting itu dan mulai bicara.

"Aku menang judi, uang yang ku dapat sebesar 10 juta."

Di keluarkan 2 bongkah uang kertas yang dililit karet. Aku dan Mama saling menatap. Kami bingung harus bereaksi apa. Pertama, aku senang dapat banyak uang begini. Kedua, ini uang hasil judi, uang kotor. Kami tak bisa berkata-kata, namun ayah yang melanjutkan sambil melepas salah satu karet.

"Aku memberimu empat ratus ribu,"
Empat lembar uang ratusan disodorkan pada mama.

"Kemudian kamu seratus ribu, Hyeongjun."

Selembar uang 100 ribu diletakkan di depanku. Tentu aku tidak menerimanya, bukan karena kurang, tapi uang ini hasil dari kelakuan buruk. Ku tatap Mama, tak tergiur sama sekali dengan uang tersebut.

"Sisanya aku buat taruhan lagi nanti, hahahaha!"
Ujar ayah sambil memasukkan sisa uang.

"Sayang, lebih baik uang itu disimpan untuk kebutuhan selanjutnya."

Ayah langsung melototi Mama, menjawab dengan nada tak sedap.

"Kamu melarangku?! Sudah dikasih uang segitu gak ada bersyukurnya! Masih mending aku memberimu uang!"

"Bukan begitu, sayang. Aku cu-"

"Alah! Palingan kamu mau nambah 'kan?! Dasar mata duitan!"

Lagi-lagi Mama dan ayah bertengkar. Kali ini tepat di depanku. Ayah salah paham tentunya. Dia lebih memikirkan diri sendiri daripada keluarga. Mama yang sudah 7 tahun menjadi tulang punggung keluarga, tak cukup untuk membiayaku dan kehidupan yang cukup mahal di Seoul. Ayah terus menyerukan kata-kata kasar pada Mama, sedangkan Mama? Tidak dapat melawan dan lebih merendahkan diri berusaha menjelaskan dan menenangkan ayah. Aku muak dengan kehidupan ini. Kenapa aku yang harus mengalami ini. Aku benci situasi ini, aku benci hidupku, aku benci semua!

Hyeongjun, The Dream Corrupter [Book 4] ✓Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt