52. Lie

25 4 0
                                    

🌼

🌼

🌼

🌼

🌼

🌼

Happy Reading 😁

"Hai, Lea! Senang bertemu dengan kamu, ayo silahkan duduk!"

Mungkin ini saat pertama kali kulihat pria dewasa yang seusia ibuku ini tersenyum ramah didepanku. Mempersilahkan diriku menarik kursi didepan meja yang diatasnya sudah tersuguhi segelas Milk shake strawberry, ini kesukaan ku.

"Ini pertemuan pertama kita, Benar?"

Aku mengangguk, terlihat begitu lembut dan seperti tidak bertenaga. Padahal awal memasuki bus saja aku sudah menggeram kesal dengan mempersiapkan umpatan-umpatan legendaris untuk memaki si pencuri hati ibuku nanti.

"Kamu sama seperti Lia, ya? Benar-benar fotocopy-an nya sekali!"

Huh, apa katanya? Terlalu lama membual, aku jadi jijik sendiri.

"Om, terus terang saja saya gak punya banyak waktu buat ini. Kalau memang tidak ada hal mendesak saya harus pamit!"

Aku baru membenarkan tasku, ingin beranjak meninggalkan orang ini yang sedari tadi tak kunjung pada intinya.

"Saya akan menikahi ibumu!"

Tidak jadi, aku meliriknya sejenak sebelum kembali mendaratkan bokong ku diatas kursi yang bisa kukatakan seperti tempat panas itu. Kursi tempat kewarasan ku diuji sungguhan bersama emosi.

Aku mengepal, "Anda jangan sembarang bicara bisa kan? Saya masih punya ayah, satu-satunya yang boleh menikahi ibu dan berhak atas saya dan ibu."

Apa tadi? Aku sempat menggebrak meja, membuat atensi beberapa pekerja yang tengah berlalu lalang menata roti jadi tertuju padaku.

"Kamu gak seharusnya bersikap seperti ini ke saya, Lea!"

Masa bodoh, panasnya memang menjalar sampai ubun-ubun ku terbakar. Sesak tak lagi kupedulikan kala pria itu bersikap seolah akulah yang salah disini.

"Kalau Anda nggak mengganggu keluarga saya tentu saya akan pilih sikap seribu kali lebih baik dari sekarang."

Dia mengusap bahuku, dan kutepis dengan kasarnya.

"Kami saling mencintai, Lea. Sudah lama sekali bahkan sebelum kehadiran ayahmu!"

Wow, Hebat sekali dengan tidak langsungnya mengatai ayahku perusak semuanya?

"Saya tahu, tapi itu bukan alasan buat keluarga orang berantakan. Om gak tahu kan bagaimana perasaan saya? Tahu tidak rasanya hidup ditengah rumitnya perasaan hati dua manusia yang egois itu? Dan sekarang om datang ingin jadi manusia ketiga?"

Aku menekankan kalimatku, sebelum kurasa cukup sebagai penampar kesadarannya dan mengakhiri obrolan payah ini.

"Ibumu gak bahagia sama ayah kamu. Apa bisa dibilang keluarga kalau salah satu tersakiti? Kamu pernah berpikir diposisi ibumu yang di dua kan oleh ayahmu?"

"Singkatnya saja, ayahmu punya keluarga lain disana."

"Lea?"

Mataku mengerjap, beberapa kali sampai yang kulihat benar-benar jelas. Aku terbaring, di UKS kalau melihat rak-rak yang terisi kotak p3k itu berjejar seperti perpustakaan obat.

How Feels? || Choi Yeonjun ✓Where stories live. Discover now