Naura menggenggam dan mengelus tangan Qia yang tidak terpasang infus. Mengecupnya sekilas sambil tersenyum. Di dalam hati, ia sangat bersyukur karena Allah menyelamatkan nyawa sang putri.

"Istirahat aja, Sayang. Jangan terlalu dipikirin. Nanti kalau udah agak sembuh, Bunda ceritain semuanya," terang Naura dengan lembut.

"Terus Mas Sakha sama Ayah dimana, Bunda?"

"Mas Sakha gapapa, kan? Terus perutnya gimana?" tanya Qia lagi seraya menoleh sedikit ke samping.

Qia jelas khawatir, tidak ada Sakha di ruangan ini. Apalagi Qia tahu jika laki-laki itu menjadi korban dari dendam Vandy.

"Sakha gapapa, Sayang. Lukanya udah ditangani. Sekarang Ayah lagi nemenin Sakha operasi."

Qia mengerutkan keningnya samar. Kali ini Naura terlalu banyak bermain teka-teki kepadanya, padahal kondisinya sedang seperti ini.

"Operasi apa, Bunda?" lirihnya kemudian.

Naura mengulum bibirnya. Menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Hal itu membuat keheningan terjadi di antara keduanya.

Dada Qia berdegup cepat menunggu jawaban Naura. Darahnya seketika berdesir tatkala sang bunda mulai membuka mulutnya.

"Mata."

Detik itu juga, jantung Qia serasa loncat dari rusuknya.

***

Keadaan Qia pagi ini sudah membaik. Lukanya memang tidak terlalu parah. Mungkin karena ini memang pertanda dari Allah supaya ia segera bertaubat.

Sekarang Qia tengah duduk bersandar pada bed rumah sakit. Sesekali ia membuka mulut saat sebuah sendok terulur kepadanya. Sambil mengunyah, mata Qia berkaca-kaca melihat sosok yang amat ia rindukan selama ini sedang duduk di dekatnya.

Lelaki dengan penutup mata berupa perban itu sangat sabar menyuapinya, bertindak seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Bahkan, senyum meneduhkan di bibir itu tidak luntur sama sekali.

"Qia minta maaf ya, Mas."

Sakha menarik napas mendengar permintaan maaf istrinya entah untuk yang ke berapa. "Dari tadi Dek Qia minta maaf terus, emangnya gak capek?"

Sakha terkekeh di akhir kalimatnya. Kepalanya memandang lurus dengan tangannya yang kembali fokus mengambil bubur di dalam mangkok.

Qia menggeleng pelan. Menundukkan kepalanya, merasa sangat bersalah.

"Sama sekali gak capek," ucapnya seraya mendekatkan wajah menerima suapan dari Sakha.

"Justru Qia merasa bersalah kalau Mas Sakha gak selamat."

"Soalnya ... Qia mimpi kalau Mas Sakha ninggalin Qia selama-lamanya," gumam gadis itu lagi membuat Sakha bingung.

"Kenapa bisa mimpi? Kan, Dek Qia lagi gak sadar karena kecelakaan," kata Sakha.

Gadis itu menggeleng. "Qia juga gak tahu."

"Tapi waktu Qia ketemu Mas Sakha yang bisa lihat lagi, langsung hilang mimpinya."

Qia menggaruk pipinya yang tak gatal, ia tak tahu kemana arah pembicaraannya. Sejak kemarin ia selalu mengungkit mimpinya yang terasa nyata.

Qia hanya belum bisa mempercayainya. Sementara Sakha memilih menyimak mendengarkan segala celotehan istrinya.

Karena Sakha merindukan Qia. Sangat.

"Kalau gak salah ... Qia tuh pingsan di mobilnya Mas Dev waktu otewe ke rumah sakit."

Feeling PerfectWhere stories live. Discover now