BAGIAN 15 : UJIAN MENTAL

49.6K 8.5K 512
                                    

Perhatian! Sesuai dengan judulnya, part ini mengandung emosi, mohon berhati-hati🙂🙏🏻

Ada masukkan dulu buat cerita ini?

Selamat membaca❤️

Ambil baiknya, buang buruknya, ya⚠️

Bismillahirrahmanirrahim.

Bagian 15 : Ujian Mental____

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bagian 15 : Ujian Mental
____

Naura mengelus rambut Qia dengan penuh kasih sayang. Perempuan itu juga memeluk sang putri yang sedang tiduran di pahanya dengan alas bantal. Naura duduk bersandar pada kasur, pakaian perempuan dewasa itu masih sama seperti tadi, hanya saja tidak ada hijab di kepalanya.

Sementara Qia telah berganti pakaian dengan piyama hitam polos lengan panjang. Gadis itu sedang berusaha tidur di kamar rumahnya dengan Sakha. Hanya saja Sakha tidak ada di kamar itu, ia di ruang makan bersama Rafka.

"Kenapa Ayah semarah itu sama Qia, Bunda? Apa Qia melakukan kesalahan yang besar?"

"Anak Ayah sebenarnya Qia atau Mas Sakha, sih? Kenapa Qia yang dimarahin?"

"Padahal Qia, kan, lagi gak dipanggil sama guru BK gara-gara keciduk manjat pohon waktu bolos pelajaran. Justru Qia mencoba menyelamatkan Mas Sakha, Bunda. Apa itu yang buat Ayah marah?"

Gadis itu tak berhenti mengoceh, terus saja bersuara membuat Naura tak tega mendengar nada sedih di setiap kalimat yang Qia utarakan. Naura menunduk, mengamati wajah Qia yang sedang mendongak.

"Ayah marah itu tandanya Ayah sayang. Ayah takut kalian berdua kenapa-napa. Sekarang Sakha suami kamu. Jadi ... Sakha juga anaknya Ayah."

"Setelah menikah, Qia jadi berubah, ya? Dulu anak Bunda gak pernah, tuh, manja kayak gini. Malahan suka ganggu Bunda sama Ayah di kamar cuma karena gak bisa ngerjain tugas."

Naura terkekeh dengan ucapannya sendiri. Hal itu membuat Qia ikut tersenyum mengingatnya.

"Sengaja, Bunda. Salah sendiri ngizinin Kak Fardan pergi ke Singapura," ucap Qia lalu mereka tertawa bersama.

Suara keduanya terdengar sampai di ruang makan yang berada di depan kamar, kebetulan pintu kamar pun juga tidak ditutup.

"Kebahagian terbesar seorang pria adalah ketika melihat wanita yang dicintainya tersenyum karena usahanya."

"Sebaliknya, kesedihan mendalam bagi seorang pria adalah ketika wanita yang dicintainya menjatuhkan air mata karena perbuatannya."

Sakha tersenyum menyimak kata-kata yang keluar dari mulut mertuanya. Menyeruput sedikit jahe hangat yang dibuat sebelumnya.

"Sakha merasa belum bisa menjadi suami yang baik untuk Dek Qia, Ayah."

"Wajar, Sakha. Namanya juga baru pertama kali jadi suami. Dulu ... Ayah awal-awal juga begitu, malah sampai sekarang. Lebih berat lagi kalau sudah menjadi ayah."

Feeling PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang