BAB 27

298 39 12
                                    

Air mata keluar dari hati dan bukan dari otak. Kalimat yang di cetuskan oleh Leonardo da Vinci itu menjadi tiang penguat perasaan Jani saat ini. Logika nya ingin segera melupakan Dikta dan menghapus semua kenangan mereka, tapi hati nya menolak dan hanya ingin menangis meratapi nasib nya.

Sudah tiga hari Jani berada di kamar. Cuti yang semula hanya lima hari diberikan harus terpaksa di tambah. Tubuh Jani membutuhkan istirahat. Sakit hati nya mampu membuat tubuhnya ikut terluka. Dan berakhir mendapatkan perawatan oleh dokter ahli nya.

Orang tua nya tentu sangat khawatir dengan kesehatan Jani. Apalagi saat Jani pulang larut malam dengan wajah sembab nya. Ibu Jani bahkan sempat berpikir aneh-aneh. Sempat ingin memarahi Tio yang meninggalkan Jani sendirian. Tetapi Jani cegah, tak mau menambah amarah Tio pada Dikta.

Meskipun Dikta telah membunuh perasaan nya, tapi bagi Jani Dikta tetap orang penting yang membuat hidupnya lebih berwarna. Tak sepantasnya dia menyalahkan Dikta. Mungkin saja saat ini Dikta bosan dengannya. Makannya dia bertindak demikian.

Pikiran Jani itu segera kembali ke kenyataan. Meskipun dia tak menyalahkan Dikta sepenuhnya, tapi Jani juga tak membenarkan tindakannya.

Jani merasa bersalah dengan orang tua dan kakak nya yang selalu mengharapkan pernikahan kedua nya. Jani benar-benar salah memilih lelaki untuk dijadikan tambatan hati.

"Kamu kenapa, Nduk?"

Jani hanya diam saja. Tak menghiraukan pertanyaan ibu nya yang sudah menangis di hadapannya itu.

Sejujurnya Jani juga ingin meruntuki dirinya yang lemah ini. Tapi sekali lagi Jani tak mampu menahannya, kejadian yang terjadi sekarang semua kehendak dari hati nya. Logika nya pun tak dapat mencegah nya.

"Iya udah, ibu tinggal makanan nya disini. Kalau lapar dimakan ya. Nanti minum obat." Pesan ibu nya sambil berjalan keluar dari kamar Jani.

Sepeninggal ibu nya, Jani kembali meneteskan air mata. Kali ini bukan menangisi Dikta, tapi lebih ke perasaan kasihan pada orang tua nya. Sebenarnya Jani sudah ingin bangkit tapi sakit hati nya masih terasa hingga saat ini.

Di tengah tangisannya, ingatannya kembali ke masa tiga bulan yang lalu. Saat Jani baru selesai mengikuti workshop. Bau parfum yang terkesan familier itu berasal dari Dikta yang saat itu ternyata menjemput Reta. Betapa bodohnya diri nya tak menyadari sedikit pun hal ini.

"Kenapa kamu tega sama aku, Dik!"

Keesokan hari nya, Jani yang sudah membaik akhirnya keluar dari kamar nya. Lingkaran hitam membingkai kedua mata nya itu. Kendati masih terlihat pucat tapi Jani sudah mampu tersenyum lagi. Berkat dukungan dari Rita, Satya, Tio, dan Sandy Jani bisa.

"Jan, Ayo jalan-jalan sama kakak." Ajak Saka mencoba menghibur adiknya yang sedang sedih itu.

"Nggak, Kak. Jani pingin di rumah aja. Mau istirahat aja." Tolak Jani dengan suara yang lemah.

"Udah beberapa hari kamu istirahat, Jan. Mumpung Kakak Libur ini." Ucap Saka, yang mendapat cubitan dari sang istri. Semacam memberi kode bahwa Jani tak mau atas ajakan nya itu.

Jani menggeleng, "Besok Jani mau kembali ke Yogyakarta," Ucap Jani membuat ketiga keempat orang yang ada disana spontan menoleh ke arahnya.

"Lusa saja, Kakak sudah izin tadi sama Kapten Irawan." Ucap Saka memberi informasi

"Gak enak, Kak. Jani cuti nya terlalu lama. Temen-temen pasti nyariin."

"Kamu beneran udah nggak papa, Nduk?" Tanya sang ayah yang sejak tadi bungkam. Ini adalah suara yang pertama kali ayahnya ucapkan sejak hari mengerikan itu. Jani adalah putri kesayangannya, wajar saja jika Pak Gautama lebih memilih diam daripada menyakiti Jani yang sudah penuh kesakitan itu.

ℍ𝕒𝕚, ℙ𝕒𝕜!Where stories live. Discover now