BAB 8

424 59 44
                                    

Waktu berjalan dengan cepat, hari ini tepat satu minggu Jani kembali beraktivitas di kampus. Semuanya sudah terasa normal bagi Jani, akan tetapi sang kakak dan teman-temannya masih sangat protektif kepadanya. Jani dianggap bayi yang wajib mereka asuh dengan baik. Tanpa dibiarkan lecet sedikitpun, ia diantar jemput teman-temannya. Terlebih Dikta yang selalu menjemputnya kemana pun, tak dibiarkan Jani pulang sendiri apapun yang terjadi.

Dikta yang sudah berjanji kepada Saka ini selalu menepati janji nya. Terlebih Dikta punya sesuatu yang selalu spesial saat dia menatap Jani. Ya Dikta memang menyukai Jani. Namun, hingga saat ini dia hanya bungkam tanpa mau mengungkapkan semua. Bagi Dikta saat kebersamaan mereka sebagai sahabat lebih indah untuk saat ini. Terlebih Dikta masih bersekolah, belum bisa menjanjikan apa-apa untuk Jani. Atas dasar inilah Dikta selalu diam dan hanya mampu memendam perasaan yang sengaja ia kubur dalam-dalam itu.

Seperti saat ini, Dikta sedang menunggu Jani di ruang komunitas nya sambil membaca buku. Sedangkan Jani masih sibuk dengan beberapa teman-temannya untuk mengolah data. Kali ini semua dalam keadaan sadar, tidak ada yang rebahan apalagi tepar. Semua fokus menyelesaikan penelitian ini karena sudah molor seminggu akibat kekurangan personil.

"Tumben a' gak tidur?" Tanya Jani kepada Sandy yang fokus membaca, dengan sebuah kacamata yang membingkai kedua netra nya itu.

Sandy yang merasa terpanggil menoleh kearah Jani, "Kalau aku tidur nanti jadi apa komunitas kita?"

"Halah, enek karo rak enek koe yo podho wae San. Kabeh garap dewe!" Sungut Tio sebal, memang Tio itu sebelas dua belas dengan Dikta. Diam-diam menghanyutkan. Bedanya kalau Tio masih mau berinteraksi dengan kanan kiri. Tidak apatis seperti Dikta, yang sampai sekarang sudah di tahun kedua masih saja punya teman berjumlah lima.

Jani menggeleng-gelengkan kepala mendengar perdebatan dua manusia yang kalau disatukan pasti bertengkar itu. Layaknya kutub utara dan selatan, jika disatukan akan membawa petaka dan suara yang membuat orang disekelilingnya merasa ingin menggeprek mereka berdua.

Masih mencoba memecahkan masalah yang dihadapi, Jani berusaha mencari beberapa data yang dia perlukan. Rasanya sial sekali menjadi bagian dari komunitas ini. Bukan karena tidak ada ilmu, tapi sang pembimbing selalu meminta data dengan cepat dan instan yang membuat semua anggota merasakan tekanan bathin yang maha hebat nya.

Awalnya saja memang baik, mereka semua di traktir sepuasnya. Dibelikan beberapa camilan. Tapi semua itu terasa sia-sia jika jadinya begini, Jani sangat yakin jika teman-teman anggota grup Dana lovers sudah mendengar gosip dari Satya, mereka semua tak akan ada yang mau mendaftar komunitas ini tahun depan.

Rita meneguk kembali kopi yang sudah dingin karena di tinggal menatap laptop itu. Sesekali ia meliuk-liukkan badannya untuk menghindari kram otot. Sambil mengistirahatkan badannya yang terasa remuk sampai ke akar-akarnya itu.

Saat Rita hendak merebahkan diri, tak sengaja menimpa kaki Satya yang sejak tadi asik goleran sambil sesekali mengetikkan sesuatu ke dalam laptopnya itu. Satya tak masalah, karena sepertinya sudah terbiasa atau memang ada rasa mereka tak tahu.

"Jan, Resign di tengah-tengah begini boleh gak sih?"

"Jan, kalau beneran mati datang ya. Tuntut Pak Dana pokoknya!"

Kalimat-kalimat itu adalah celotehan yang selalu Satya dan Rita omelkan akhir-akhir ini. Sejak menerima titah Pak Danamon, semua teman Jani kehilangan kewarasannya. Jika diukur tentang kesehatan mental mungkin hanya Jani, Tio, dan Dikta saja yang masih waras. Yang lain sudah hilang bersama dengan cucuran keringat setiap harinya.

ℍ𝕒𝕚, ℙ𝕒𝕜!Where stories live. Discover now