PROLOG

2.2K 153 108
                                    


Seorang lelaki berlari kencang membelah lautan manusia yang memenuhi Stasiun. Tanpa memperdulikan teriakan dari orang-orang, dia menyusuri tempat itu dengan penuh kebingungan. Tujuannya saat ini adalah menemukan hidupnya. Nyawa yang selama ini dia miliki serasa di ujung tanduk. Dia tak mau menyesal kembali, jika dia tak meraih tangan itu mana mungkin dia bisa bertahan. Bukankah kesempatan ketiga tak ada di semesta ini. Kesempatan kedua jadi harapan terakhir baginya.

Selama ini dia selalu mengabaikan rasa yang muncul. Selama ini dia hanya menanti waktu tanpa memikirkan perasaan sang perindu. Hingga detak di ujung detik, akhirnya dia mengerti. Menetapkan pilihan hatinya, tujuan hidupnya adalah gadis itu.

Sepasang kakinya berhenti kala menangkap siluet seorang wanita yang berdiri di pemberhentian kereta. Rambut panjang yang dibiarkan terurai tak lagi nampak terganti rambut pendek lengkap dengan hiasan Bandana berwarna coklat pemberian lelaki itu. Dana bernapas lega, keringat yang menghiasi wajah tampannya seakan terbayar sudah dengan sebuah pertemuan dengan pujaan hatinya. Setelah menetapkan pilihannya, dia berlari menghampiri perempuan itu dan memeluknya dengan erat.

"Bagaimana bisa kamu pergi tanpa tahu perasaanku selama ini, Jani?"

Anjani tersentak kaget, wajah bingung sekaligus bahagia tergambar jelas. Dia tak mengira bahwa lelaki itu akan benar-benar hadir menemuinya. Hatinya memang mengharapkannya namun tidak dengan Logika nya. Sepasang tangan yang menggantung kala berpelukan itu dipaksa ditarik dengan sisa tenaganya.

"Bapak kenapa kesini?"

Lesung pipi tercipta di wajah lelaki itu, geli rasanya mendengar pertanyaan dari sang gadis yang dicintainya ini. "Tentu saja aku kesini. Kau kira aku sanggup melepasmu untuk kali ini?"

Kereta sudah datang, pengumuman keberangkatan terdengar nyaring dari sebuah speaker di atap atap stasiun ini. Anjani semakin mempererat genggaman tiket yang ada ditangannya.

"Maafkan aku, Pak. Aku rasa kita tak ditakdirkan bersama. Aku bukan akhir bahagiamu. Aku tidak ingin dicintai sebagai pengganti dari seseorang. Aku tidak ingin hidup dengan orang yang hatinya untuk orang lain. Sedari awal kalian adalah sepasang kekasih, meski berpisah aku yakin dia jodohmu. Semoga kamu tetap bahagia, meski tanpa kehadiranku. Aku pamit ya, Pak!" Pamitnya dengan tawa canggung yang sengaja ia paksakan.

Gadis itu melepas Bandana yang menghiasi rambutnya. Mengembalikan sebuah benda pemberian seperti melepaskan kenangan yang terpendam di dasar jurang. Mengembalikan sisa pemberian dari pria didepannya, Anjani berlalu tanpa suara.

"Bagaimana kamu bisa begini, Anjani?"

"Memang saya bagaimana, Pak? Sungguh saya bahagia dengan keputusan ini. Berjanjilah untuk hidup bahagia jangan ada penyesalan didalam hatimu itu. Bahagiakan keluargamu!"

Dana tersenyum nanar penuh dengan kekecewaan. Menatap Bandana yang ada di tangannya ia teringat akan kenangan yang tercipta. Gadis itu semakin menjauh, Namun pandangan Dana tak pernah lepas darinya. Kaki yang ia gunakan berlari tak sanggup lagi di langkahkan barang sejengkal pun. Beginilah Dana, Lelaki tanpa perasaan namun akan melankolis saat kehilangan sang pujaan.

Dalam kebisuan nya, akhirnya ia sadar. Dalam keramaian itu, dia berteriak memanggil nama sang gadis. Suara mesin kereta api menutupi teriakan nya ditengah kerumunan lautan manusia. Kata-kata yang ia ucapkan seakan mengendap. Meskipun demikian, Gadis itu masih bisa mendengarnya. Berbalik sambil menitikkan air mata, Gadis itu tersenyum dengan tangan melambai. Dana tersenyum dengan lega akan jawaban yang didapatkan.

Tangannya yang terangkat membalas lambaian dari Gadis itu. Dia lega mendapatkan jawaban yang dia nantikan. Nampaknya materi yang selalu ia ajarkan benar-benar di lakukan.

Jawaban tak selalu dengan perkataan. Tindakan akan menjawab segala keraguan.

"Hai, Pak!" Gumam Anjani sambil melambaikan tangan pada Dana. 

ℍ𝕒𝕚, ℙ𝕒𝕜!Where stories live. Discover now