BAB 21

267 33 4
                                    

Kemarin adalah sejarah, hari ini petualangan, dan esok adalah misteri. 

Nampaknya hal itu sangat cocok untuk menggambarkan kehidupan remaja berusia 24 tahun. Jani yang baru saja lulus pendidikan profesi tanpa tahu misteri apa yang terjadi, akhirnya di tempatkan di kota Bandung. Terjun ke dunia kerja ternyata tak semudah yang ia bayangkan. Pengalaman yang ia miliki nyatanya tak bisa ia gunakan semua. Dalam dunia kerja, apapun yang dilakukan tak harus sesuai SOP. Intinya semua situasional.

Pagi ini dengan diantar keluarga nya, Jani hendak pergi ke Bandung menaiki kereta api. Selain hemat biaya, bagi Jani menikmati pemandangan di kereta api jauh lebih menyenangkan daripada di langit yang selalu membuatnya gelisah. Jani takut ketinggian, maka nya tak berani naik pesawat kendati sudah di bujuk oleh keluarga nya.

Hilir mudik orang saling berjalan berpapasan. Sambil menunggu kereta, Jani bersenda gurau dengan keluarga nya. Sedih sebenarnya, ini mungkin pengalaman pertama kali Jani jauh dari keluarga. Tapi ini sudah pilihannya, Jani selalu konsisten dengan pilihan nya. Bunyi kereta akhirnya datang, Jani segera berbalik dan bergegas salim pada kedua orang tuanya.

"Yah, Jani pamit dulu ya. Doain Jani semoga lancar disana."

"Iya, Nduk. Hati-hati, ingat pesan ayah. Gaji bukan yang utama, tapi ilmu dan pengetahuan yang kamu miliki bisa kamu sebarkan ke anak didikmu."

Jani tersenyum dengan nasihat sang ayah, meski bukan lulusan sarjana, nyatanya ayah Jani berhasil mendidik dua orang putra dan putrinya menjadi anak yang berbakti dan menurut apa ucapan orang tua. Bisa dibilang ayah Jani adalah ayah idaman setiap anak.

"Nggih, Yah. Jani selalu ingat. Ayah jaga kesehatan, besok kalau Jani pulang persiapan mantu." Ujar Jani cengengesan, mengalihkan perhatian sang ayah yang sudah akan menangis melepas anak perempuannya itu.

"Iya siap, ayah tungguin kamu sama Dikta."

Jani tersenyum miris, pertengkarannya dengan Dikta semalam masih membekas di hatinya. Hingga tak tahu bagaimana cara menjawab sang ayah. Mereka tidak putus, bukan pula break. Tapi ntah kenapa keduanya tak saling menghubungi setelah bertengkar semalam.

"Jani pamit nggih, ibu. Pangestu ne bu, doakan Jani lancar di Bandung ya."

"Iya, Nduk. Pangestu ne ibu kanggo awakmu. Hati-hati ya, ojo aneh-aneh disana. Paham kehidupan Bandung gak koyo neng daerahmu dewe."

"Nggih bu, Ibu jaga kesehatan. Jangan sampai sakit. Tinggal berdua jangan kemana-mana. Kebun udah di urus sama Mas Azam. Ayah sama ibu jangan sampai kecapekan." Cerocos Jani bagai tak punya rem dalam mulutnya, sejujurnya sikap Jani ini wajar. Mengkhawatirkan orang tua yang sudah mulai menua.

Lambaian tangan dan pelukan menjadi pamungkas tradisi perpisahan Jani dan orang tua nya. Jani memasuki gerbong kereta sambil menarik kopernya. Meninggalkan kota kelahirannya adalah hal yang menyedihkan bagi Jani. Ia masih ingin tinggal di sini, tentu bersama dengan orang terkasih nya.

Tepat pukul 09.00 pagi, kereta Lodaya mulai melaju, membawa Jani yang akan merantau di kota orang. Mengadu nasib dan keberuntungannya di kota itu. Ditambah ini merupakan penempatan, Jani tidak berani melawan. Tugas negara adalah tugasnya juga sekarang.

Di temani dengan lagu idol favorit nya, Jani menatap hamparan rumput hijau dan pemandangan yang sungguh indahnya. Sambil bersenandung, Jani mulai membuka buku note yang selalu ia bawa. Menuliskan rangkaian kata yang hanya dirinya sendiri yang tahu, saat sampai di pertengahan tiba-tiba ingatan Jani kembali pada Dikta.

"Haruskah aku yang minta maaf dulu?" Tanya nya pada diri sendiri, yang jika dilihat orang akan nampak seperti orang gila. Ngomong sendiri.

"Tapi Dikta yang salah. Kalau dia gak pergi sama teman perempuannya gak mungkin juga aku begini."

ℍ𝕒𝕚, ℙ𝕒𝕜!Where stories live. Discover now