BAB 24

274 38 4
                                    

Tiga hari bersama Pak Dana sudah terlewati, itu artinya tiga hari pula Jani merasakan babak belur secara fisik dan batin. Bayangan Jani Pak Dana yang sekarang akan berbeda dengan yang dulu. Tetapi nyatanya beliau semakin galak, baperan, dan juga selalu menuntut kesempurnaan.

Saat ini Jani tengah bersiap meninggalkan hotel yang dijadikan tempat bernaung nya itu. Jani akan pergi untuk menghadap ke atasannya di sekolah. Sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, Jani kebingungan. Lebih tepatnya mencari keberadaan sang dosen. Hanya sekedar ingin menyapa dan berpamitan saja. Tak mungkin juga Jani bermain mata saat kekasihnya sedang jauh disana.

Mengenai Dikta, sudah tiga hari ini Jani tak mendengar kabarnya. Terakhir kali mereka berkabar saat Jani berpamitan untuk berangkat ke Yogyakarta. Selebihnya Dikta tak ada menghubungi nya.

Jani tentu saja mencemaskan Dikta, Bagaimana jika dia sedang sakit?

Dengan segera Jani memegang ponselnya dan mengetikkan sesuatu di kotak teks pada aplikasi berwarna hijau itu.

"Pagi Dik, Kamu baik kan?"

"Dikta, kenapa nggak di bales? Kamu udah tidur?"

"Dikta, yaudah deh. Jangan sakit. Makan tepat waktu. Seperti biasa aku merindukanmu."

Jani mengirimkannya beberapa kali. Namun tak kunjung ada balasan. Akhirnya Jani yang sudah diburu waktu mengurungkan niatnya, di masukan ponsel itu ke kantong jas nya. Bergegas untuk segera turun ke lobi.

"Halo, Mbak Jani." Sapa seseorang sambil menepuk pundak Jani. Tentu hal itu membuat Jani kaget karena sedang berada di fase merenung.

Jani yang Refleks memegang dadanya, menengok ke arah sumber suara. "Halo, Reta. Kenapa?"

Reta menggeleng, berdiri di samping Jani. "Mau langsung balik, Mbak?"

"Iya nih. Balik ke asrama di Yogya. Penempatan hari pertama soalnya."

"Aku ada rencana mau main keliling Yogyakarta dulu. Mbak Jani mau ikut?" Tawarnya yang jelas ditolak dengan gerakan oleh Jani.

"Nggak dulu, Ta. Aku ada urusan sama kepala sekolah nya. Buat pelaporan kegiatan workshop ini, takutnya di marahin karena gak konsisten nanti." Sindir Jani yang sebenarnya ditujukan pada perempuan di sampingnya itu.

Reta hanya mangut-mangut sambil tersenyum ke arah Jani. Hingga akhirnya sebuah mobil Hyundai Santa Fe berwarna biru itu berhenti di depan mereka. Sedetik kemudian sebuah pesan singkat masuk di ponsel Reta yang artinya itu mobil jemputannya.

"Aku udah dijemput, Mbak. Sekalian aja sama aku yuk." Tawar Reta untuk memberikan tumpangan pada Jani.

Namun Jani yang menyadari situasi, jelas menolaknya. Reta sedang bersama dengan kekasihnya, mana mungkin Jani akan ikut bergabung dengan mereka.

Masa setiap tahun jadi obat nyamuk sih!

"Iya duluan aja, Ta. Aku nungguin seseorang juga." Tolak Jani dengan halus, "Terima kasih, Ta. Kamu hati-hati ya!" Sambung Jani yang merasa sebal atas kemurahan hati Reta yang justru secara tak langsung malah mengejeknya itu.

Saat pintu dibuka Jani tak bisa jelas menatap wajah pacar nya Reta. Penasaran sekali dirinya. Cowok mana yang mau bela-belain buat jemput cewek menyebalkan seperti Reta itu. Mungkin jika ada, sikap mereka pasti sebelas dua belas. Makanya terasa mudah saja walau yang satu ributnya bagai angsa kelaparan.

Aroma parfum menguar saat pintu mobil yang terbuka, namun segera ditutup oleh Reta dan tak lupa membunyikan klakson pada Jani. Kedua orang itu akhirnya pergi meninggalkan Jani yang masih termenung di penuhi beberapa pikiran di otaknya, "Kayak kenal sama bau parfum nya. Tapi siapa ya?" Beo Jani memulai sesi diskusi dengan otak dan hatinya pagi itu.

ℍ𝕒𝕚, ℙ𝕒𝕜!Where stories live. Discover now