BAB 9

371 53 56
                                    

Pagi ini terlalu bersejarah bagi mereka, pasalnya pukul setengah 5 pagi mereka sudah berkutat dengan kertas-kertas yang berisi deretan angka dan aksara, kelak akan menjadi kertas bersejarah untuk dikenang. Ya, Pagi ini kelima anak manusia akan melakukan presentasi hasil penelitian. Perasaan gusar, tak tenang, dan bolak-balik ke kamar kecil menghinggapi mereka semua. Meski sudah coba ditahan yang namanya ansietas tak mungkin bisa diobati secepat kilat.

Saat semua orang panik, berbeda dengan lelaki bersetelan hitam itu. Pak Dana sedang berdiri tenang sambil sesekali menenangkan anak didik nya ini. Baginya seperti mengasuh bayi yang sedang menangis, mereka semua panik.

"Iya Kak. Jani selesai Presentasi langsung jemput aja ya nanti." Ujar Jani menjawab panggilan orang diseberang sana.

"Siapa, Jan?" Tanya Rita tanpa bersuara ke arah Jani.

"Kak Saka, Ta." Jawab Jani sambil memasukkan ponsel nya ke saku almet yang ia kenakan. Jika boleh bercerita sebenarnya Jani juga gugup, namun jika semua gugup nanti jadi bagaimana? Pura-pura santai adalah solusi yang tepat untuk saat ini.

"Yang belum datang siapa?" Instruksi suara Pak Dana memecah kebisuan di depan ruangan komunitas.

Semua menengok ke kanan dan ke kiri, sesekali menghitung jumlah teman yang ternyata sudah komplit tak kurang satu pun.

"Sudah pas pak, gak ada yang kurang." Jawab Sandy setelah memastikan kelima temannya hadir disini.

"Em, masih kurang satu." Jawab Pak Dana sambil menatap Jam tangan yang melingkar dengan gagah di pergerlangan tangannya.

"Siapa, Pak?"

"Sebentar lagi datang." Jawab Pak Dana bagai peramal yang sakti mandraguna.

"Tiga. . . Dua. . . Satu. . . Datang!" Ujar Pak Dana tepat bersamaan dengan seseorang yang membawa beberapa kantong plastik di tangannya. Napasnya tersengal-sengal khas orang habis berlari. Keringat bercucuran, membuat punggung nya basah bau keringat.

"Woii, bantuin napa?" Ujar Kak Gu dengan malangnya.

Seketika semua orang yang ada disana tersadar. Segera beranjak membantu membawa kantong plastik itu.

"Telat berapa menit, Gumelar?" Tanya Pak Dana setelah Kak Gu tenang, lebih tepatnya napasnya yang mulai normal. Kalau orangnya tidak akan pernah bisa.

"Lima belas menit pak."

"Selama itu?"

"Capek beneran, Pak. Mana Lift nya penuh. Mau gak mau aku naik pakai tangga darurat." Jelas Kak Gu saat sudah beradapan dengan Pak Dana.

"Lantai satu ke lantai empat itu, kalau lewat tangga cuman butuh waktu 7 menit, katakanlah paling lama 10 menit kamu jalan. Nyatanya kamu telat 15 menit. Itu tandanya kamu datangnya telat 5 menit." Simpul Pak Dana yang memang seperti dosen sungguhan.

Glek, semua orang yang berada disana seketika terdiam. Tak ada yang berani membuat pergerakan barang sejengkal pun. Kemarahan Pak Dana pagi ini bukan tanpa sebab. Pasalnya hari ini mereka akan presentasi, dan sebagai dosen sekaligus pembimbing dia mempersiapkan yang terbaik. Tetapi malah dikacaukan dengan Gumelar.

"Kesiangan, Pak." Jujur Kak Gu saat merasa terancam, bayangkan di hadapan dosen kalian di tatap dengan intens. Apalagi yang menatap adalah pak Dana, Adyaksa Wardana yang sangat disegani oleh semua orang.

"Nah, saya lebih menghargai kejujuran daripada alasanmu itu." Pungkas Pak Dana yang membuat semua orang menghembuskan napasnya lega.

"Itu ambil satu-satu ya. Di makan sekarang, setengah jam lagi kita kumpul di auditorium ya." Pesan Pak Dana sebelum beranjak pergi dari sana.

ℍ𝕒𝕚, ℙ𝕒𝕜!Where stories live. Discover now