BAB 19

240 38 8
                                    

"Jan, pergi dulu ya. Tunggu aku kembali."

Ya, itu suara Dikta yang berpamitan pada Jani. Pagi ini Dikta akan terbang ke Amerika untuk menimba ilmu. Mengapai mimpinya dan meninggalkan cinta nya di bumi pertiwi ini. Dilihatnya Jani yang menitikkan air mata, semakin membuat Dikta enggan pergi awalnya. Namun sekali lagi ini bukan tentang perpisahan tapi tentang mimpi dan harapan membahagiakan Jani. Dikta akan pergi.

"Kamu hati-hati ya, Dik! Jaga kesehatan selama disana. Jangan sakit apalagi terluka." Ucap Jani sambil memberikan sebuah tas berwarna hijau yang sejak tadi di genggam nya.

Dikta mengangguk, "Apa ini, Jan?"

"Itu pesanan kamu kemarin, makanan favorit mu." Jelas Jani sambil memalingkan muka dari Dikta. Mencoba tak menatap adalah pilihan Jani.

"Em, oke. Makasih ya, Jan."

"Yaudah gih, langsung check in aja. Nunggu di dalam. Aku mau balik rebahan di rumah." Usir Jani pada Dikta.

Dikta jelas tersenyum, sikap sahabatnya ini benar-benar aneh. Bagaimana biasanya Jani bersikap tentu saja Dikta sudah paham. Jelas ini bukan sikap Jani yang sebenarnya. Sepertinya Jani sedang mencoba menahan sesuatu yang tidak di kehendaki hati nya.

"Kamu kenapa?" Tanya Dikta memastikan keadaan Jani, sepertinya memang sedang gelisah ntah kenapa.

"Gak papa. Dik." Sangkal Jani, sambil mengedarkan pandangannya ke papan loket.

"Ini seriusan Pak Dana gak ikut nganterin kamu?" Ucap Jani berusaha mengalihkan topik pembicaraan itu.

"Gak. Mas Dana baru ada acara sama Mbak Nindya." Jawab Dikta dengan air muka kecewanya.

"Adiknya mau pergi loh ini, bisa-bisanya kayak gitu." Omel Jani marah akan sikap kakaknya Dikta itu.

"Kamu marah?" Tanya Dikta sambil menatap Jani dengan penuh tanda tanya.

"Jelas marah lah, Pasangan emang yang utama kalau keluarga kan gak ada gantinya!" Jelas Jani sambil sesekali melihat ke kanan kiri, tempat beberapa orang berkerumun untuk mengantarkan sanak keluarga nya.

"Kamu marah atas nama ku atau atas perasaanmu?"

Jani terdiam mendengar ucapan Dikta. Sepertinya dia sudah salah khawatir di depan Dikta saat ini. Jani membisu dan tak mampu barang sedikitpun menjawab Dikta.

"Kamu tahu semua nya ya, Dik?" Tanya Jani sambil menatap Dikta.

Dikta hanya diam tak menanggapi pertanyaan yang Jani lontarkan. Hatinya merasa sakit barang untuk menjawab pertanyaan singkat itu.

"Iyaudah, Jan. Aku check in dulu. Kamu pulangnya hati-hati ya. Jangan ngebut! Ujar Dikta sebelum beranjak pergi.

Jani hanya terdiam, menatap punggung Dikta yang menjauh meninggalkan diri nya. Kalimat yang dia simpan selama sebulan ini akhirnya tak dapat tersampaikan pada Dikta. Mungkin inilah akhir dari kisahnya, Dikta pergi meninggalkannya dalam kesunyian semesta.

Jani berbalik dan melangkah untuk keluar, baru dua langkah dia berjalan tiba-tiba tangannya di tarik oleh seseorang. Jani yang tidak ada persiapan, terkesiap dan hampir jatuh jika seseorang itu tak menangkapnya.

"Jani, ada yang mau aku omongin sama kamu."

"Apa, Dik?"

Iya, lelaki itu adalah Dikta yang dilihatnya sudah masuk ke dalam. Namun nyatanya berlari mengejarnya lagi.

"Aku suka sama kamu!"

"Hah?"

"Aku suka sama kamu dari dulu, Jan."

ℍ𝕒𝕚, ℙ𝕒𝕜!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang