"Mas Sakha ...." Bibir Qia bergetar menahan isakkan.

"Qia juga cinta sama Mas Sakha," katanya begitu lirih sambil memejamkan mata membayangkan sosok Sakha ada di hadapannya.

"Dek ...."

Qia membuka kelopak matanya dengan perlahan saat suara sang kakak mengalun di telinganya. Lelaki itu duduk di hadapannya sembari mengusap rambut Qia yang tergerai dengan sayang.

"Gimana hasilnya?" tanya Fardan lembut. Menatap kedua bola mata Qia yang menyiratkan kesedihan mendalam.

Fardan memang datang untuk menemani Qia berkemas-kemas. Rencananya, Qia akan pindah kembali ke rumah orang tuanya. Setelah mendengar kabar kematian Sakha, ia langsung mengatur jadwal penerbangan dan meninggalkan tugasnya sejenak.

Karena Fardan tahu, adiknya pasti sangat rapuh. Ia datang untuk menguatkannya.

Qia tak berekspresi mendengar pertanyaan Fardan. Ia menoleh ke samping bawah, mengambil sesuatu yang berada di lantai.

Gadis itu lantas menyodorkan benda kecil dan tipis dengan ukuran panjang tersebut kepada Fardan.

"Garis dua."

Fardan menerimanya. Melihatnya cukup lama berusaha memahami maksudnya. Lelaki itu menengadah memandangi Qia.

"Positif?" tanya Fardan tersenyum, ia tak dapat lagi menyembunyikan ekspresi bahagianya.

Qia mengangguk lemah. Fardan menggeser tubuhnya sampai di sebelah adiknya.

Dengan rasa bahagia yang tiada duanya, ia langsung memeluk Qia. Mengecup kepala sang adik berkali-kali, matanya mulai berkaca-kaca mengetahui kabar gembira.

"Masyaallah tabarakallah ... Kakak seneng banget!"

Fardan berseru sangat gembira. Gembira sekali. Karena sebentar lagi ia akan menjadi seorang paman.

Ternyata dugaan Fardan dan kedua orang tuanya tidak salah. Sehari setelah Sakha pergi untuk selama-lamanya, Qia sering mual-mual. Belum lagi gadis itu sensitif terhadap bau-bau yang menyengat.

Fardan sangat bahagia sampai tidak bisa dilontarkan dengan kata-kata. Namun berbeda dengan Qia. Gadis itu sama sekali tak senang.

Qia memang akan menjadi seorang ibu, tapi tanpa kehadiran Sakha di dekatnya.

"Mas Sakha jahat ...." tangis Qia. Air matanya turun semakin deras.

"Qia ...." panggil Fardan pelan, hatinya tersayat mendengar Qia menangis sesenggukan. Ia semakin mengeratkan pelukannya.

"Mas Sakha harusnya juga denger kabar ini!" Intonasi bicara gadis itu kian naik. Bahunya makin bergetar hebat.

"Mas Sakha gak boleh pergi, Kak!"

"Qia kangen Mas Sakha. Qia kangen ...."

"Qia juga cinta sama Mas Sakha."

Mati-matian, Fardan menahan buliran bening di pelupuk matanya. "Udah, Dek. Kamu harus ikhlas," ingatnya mengusap punggung Qia.

Qia menggeleng kuat. "Nanti siapa yang bangunin Qia buat sholat tahajud, Kak?!"

"Nanti siapa yang ingetin Qia puasa sunnah?!"

"Nanti siapa yang bantu Qia hafalan sama muroja'ah?!"

"Nanti siapa yang koreksi bacaan Qia?!"

Qia tersedu-sedu, ia semakin memelankan suaranya. Memukul dada Fardan tanpa tenaga. "Siapa, Kak? Siapa ...?"

"Gak ada, kan?" lirih Qia dengan hati yang hancur berkeping-keping. 

Fardan mengulum bibirnya menahan tangis. Ia mengecup ubun-ubun sekilas, menenangkan gadis itu.

Feeling PerfectWhere stories live. Discover now