Hujan Penghabisan

42 8 0
                                    


Setahun sudah aku berada di kota ini, jauh dari sanak famili kadang membuat aku gundah, sejak peristiwa yang membuat keluarga kami malu, maka aku dan Mas Hasan, menghilang dan hidup di kota kecil ini.

Aku merasa bersalah, itu yang terus aku rasa karena aku adalah adik yang tak tahu diri. Telah dibiayai sekolah oleh kakakku, Mbak Mintarsih sejak bapak dan ibu meninggal, juga dikuliahkan hingga menjadi sarjana dan sempat bekerja tapi aku malah bermain belakang dengan kakak iparku yang pesonanya aku rasakan sejak awal aku menginjakkan kaki di rumah kakakku.

Kakakku adalah wanita super sibuk, dengan beberapa pabrik konveksi membuatnya sering mengabaikan Mas Hasan yang, laki-laki gagah dan tampan, pemilik bengkel modern tekenal. Kami lebih sering berdua, meski ada pembantu tapi area mereka di belakang. Kesepian, juga kondisi rumah yang sepilah yang membuat kami akhirnya tergoda mencicipi nikmatnya berbagi keringat.

Aku tidak menyalahkan Mas Hasan, karena aku juga merasa kesepian sejak kekasih yang aku cintai memilih menikah dengan sahabatku hingga aku mau saat dia mulai melancarkan rayuannya. Awalnya kami hanya berciuman tapi lama kelamaan, kamarku bahkan kamar kakakku menjadi tempat pelampiasan keliaran kami.

Satu hal yang selalu Mas Hasan bisikkan, ia ingin sekali punya anak karena bertahun-tahun menikah dengan kakakku, buah hati yang mereka nanti tak juga hadir.

Sepandai-pandainya kami menyimpan kebusukan kami akhirnya ketahuan juga. Kami tak menyangka jika kakak yang pamit akan keluar kota selama tiga hari karena akan survey lahan baru untuk pabriknya yang kesekian ternyata menangkap basah kami yang saat itu sedang tumpang-tindih di kamarnya.

Malam itu juga kami diusir dengan disaksikan warga perumahan juga aparat setempat, sepertinya memang sudah direncanakan dengan baik oleh kakakku untuk menangkap basah kami berdua.

Akhirnya kami pergi, meninggalkan segala kenangan yang memalukan. Mencoba memulai hidup baru, dengan usaha bengkel motor dan Alhamdulillah masih rejeki kamu berdua, bengkel itu kini berkembang pesat. Setahun sudah peristiwa itu berlalu, hanya yang menjadi pikiranku sebulan ini Mas Hasan sering pulang malam dan jika sampai di rumah selalu kelelahan, seolah tenaganya terforsir habis.

"Mas, kok tiap akhir minggu selalu pulang malam, bahkan kadang sampai nginep di bengkel kenapa sih?"

"Kan aku sudah pamit, Dik Narti, kadang aku ke luar kota jika aku tak pulang, jika banyak kerjaan ya kadang nginap di bengkel, kalo kamu nggak percaya ayo ikut."

"Nggak ah, males di bengkel mending di rumah, ngurus kucing lima yang lucu-lucu ini."

"Makanya kamu nggak usah curiga, buat apa curiga sama aku, aku loh sudah tua."

"Ih kata siapa, Mas masih gagah, berotot, pasti banyak yang mau."

"Oh yaaa."

Dan aku menjerit saat tiba-tiba Mas Hasan menggendongku ke kamar,  mulai melancarkan ciumannya bertubi-tubi hingga aku terlena dan kembali merasakan kepuasan yang tiada tara.

.
.
.

Pagi itu aku mengernyitkan keningku saat aku mengeluarkan baju-baju Mas Hasan dari dalam tas kecilnya saat akan aku masukkan ke mesin cuci, ia baru saja dari luar kota untuk memesan beberapa barang yang dibutuhkan di bengkelnya, meski bolak-balik aku bilang pesan secara online saja toh selama ini kami sudah punya langganan, tapi Mas Hasan selalu berkilah jika tak puas jika ia tak melihat barangnya secara langsung.

Bau parfum yang berbeda aku rasakan di baju-baju Mas Hasan, dan yang membuat dadaku berdetak keras saat aku menemukan celana dalam kotor Mas Hasan yang mengeras seolah dijadikan lap bekas sisa-sisa percintaan. Aku mulai berpikir dengan siapa Mas Hasan melakukan ini? Tak mungkin rasanya ia main solo.

Bingkai Kehidupan (Antologi Cerpen)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin