Ku lirik Mas Arbi yang bergerak memunggungiku, aku membekap mulut takut Mas Arbi mendengar isakan yang keluar tanpa diperintah, ku pandangi punggung kokoh itu dengan perasaan campur aduk yang tak bisa aku jelas, semuanya abstrak untuk dijabarkan!

Aku tidak kuat, ku peluk tubuhnya dari belakang dengan air mata yang tambah deras, akhir-akhir ini aku mudah menangis dan kembali takut kalau Mas Arbi merasa jengah dengan tangisanku yang tak tau alesannya.

"Emh?" Mas Arbi mungkin sadar kalau aku memeluknya erat juga air mataku yang ia rasakan, dia ingin berbalik namun aku makin mengeratkan pelukan, takut kalau Mas Arbi melihat air mataku dan dia marah karena jengah seperti mimpi itu.

"Hey, ada apa? Jangan buat Mas khawatir." Tenagaku kalah kuat dengan Mas Arbi, dia dengan gampangnya membalik tubuhnya walau sudah aku peluk erat, tapi karena aku tidak ingin Mas Arbi melihat air mataku agar dia tidak jengah atau marah, bergatian aku yang membalik tubuh memunggunginya.

"Dek, kamu bangun apa enggak? Mimpi 'kah?" Ya mungkin Mas Arbi berpikir aku bermimpi menangis, namun ini lebih dari itu aku menangis dalam mimpi juga dunia nyata, aku masih takut kalau Mas Arbi berubah seperti di mimpi itu hingga tak sadar isakanku yang ku tahan matian-matian keluar dengan hebat hanya karena suara khwatir milik Mas Arbi, bahuku gemetar membuat pergerakan di belakangku.

Seperti dugaanku Mas Arbi menengok ke arahku, menarik paksa bahuku untuk memerlihatkan wajahku yang berusah setengah mati aku tutup, berhasil dia berhasil membalik tubuhku dan wajahnya yang kini berada di atas wajahku, juga tangannya yang juga ikut mengunci pergerakan ku agar tak berbalik lagi.

"Kenapa hm?" Air mataku semakin deras keluar, mendengar suara halusnya juga tangannya yang telaten membersihkan air mataku, aku tak bisa lagi menutupinya mangka dari itu ku buka mata dan lansung tepat melihat ke arah wajahnya yang baru bangun tidur dengan rambutnya yang berantakan.

"Mimpi buruk?" Aku mengangguk membenarkan, Mas Arbi membawa kepalaku ke dadanya untuk dia peluk dengan erat, tangisan ku lagi-lagi pecah mengingat mimpi itu juga sikap Mas Arbi yang sekarang. Tanganku mencengkram erat baju yang ia pakai menyalurkan perasaan takut dan bimbang dalam hati.

"Sst ... udah ya, seburuk itu kah?" Lagi aku mengangguk membenarkan, Mas Arbi mengehela nafas sambil tersenyum. "Udah dong nangisnya, Mas udah bilang 'kan Mas ngak suka liat kamu nangis, tapi apa sekarang? Mas gak maksa kamu cerita karena katanya mimpui buruk itu gak baik diceritain, pamali."

Seperkian menit isakanku mulai reda, masih diposisi sama Mas Arbi tetap mengelus rambutku dengan sayang, sedikit tenang aku medongak melihat wajah tampannya yang lelah karena pekerjaan tapi harus terjaga karena tangisanku. "

"Maaf," kataku pelan.

Mas Arbi tersenyum lagi, senyum teduh yang selalu berhasil membuatku tenang, lalu berkata. "Untuk? Jangan bilang karena menangis dan menganggu Mas?"

"Dek, buang jauh-jauh rasa bersalah itu, Mas gak merasa keberatan dan malahan Mas seneng kamu melibatkan Mas dalam segala hal, apa lagi untuk yang satu ini, Mas gak pengen ada pria lain yang menghapus air matamu karena Mas bukan pria bodoh yang cuman mau dilihat tanpa mau melihat, berhenti keberatan dan izinkan Mas tau kalau kamu sedang kecewa, sakit hati, menangis, marah atau merasa nyaman dan bahagia, bagi semua itu sama Mas, ya?" Aku mengangguk sekali lagi.

"Mas ... Gak akan cari perempuan lain 'kan? Kalau-kalau misal aku gak bisa punya ana—" Ucapanku terhenti karena ciumannya yang diberi sedikit lumatan olehnya, aku memejamkan mata menikmati bibir lembut dan sedikit tebalnya terlalu lembut hingga aku terbuai.

"Ngomong sekali lagi kayak gitu, Mas bener-bener buat kamu gak bisa jalan selama dua hari." Tatapannya buka menunjukan marah, hanya mengertakku saja atau itu, melihat wajahnya yang sok diseriusin tapi ingin tersenyum.

Untukmu ImamkuWhere stories live. Discover now