BAGIAN 25 : RAISA NEKAT

Mulai dari awal
                                    

Qia bangun dari tidurnya. Ia menekuk wajahnya memandangi Sakha. "Gak ada, sih. Tapi, hati Qia kayak ada yang ganjel, terus gak enak aja gitu."

Sakha tersenyum tipis. "Perbanyak dzikir, Dek. Sering-sering ingat Allah biar hati kita tenang. Kalau kita ingat Allah, Allah akan ingat kita."

"Mungkin emang Qia kurang dzikir kali, ya, Mas?" Qia menaruh kembali kepalanya di atas kaki Sakha yang bersila dengan bantal sebagai alasnya.

"Iya." Sakha mengangguk sekali dan tetap tersenyum.

"Qia mau---"

Tok! Tok! Tok!

Ucapan Qia terpotong dengan suara ketukan pintu kamar. Keduanya menoleh ke asal suara. Setelah itu, Qia izin kepada Sakha untuk membukakan pintu. Sakha memperbolehkan, membuat gadis itu bergegas menghampiri pintu.

"Ummah?" Qia memandangi wajah seseorang yang berada di balik pintu. Wanita berjilbab itu tersenyum ketika menantunya keluar dari kamar.

"Qiara lagi sibuk?" tanya Fatma.

Qia menyengir ceria, hari ini memang ia tidak ada pekerjaan. "Enggak kok Ummah. Ada apa?"

"Itu ... Ummah mau minta tolong." Fatma mengambil dompetnya yang berada di saku gamis. "Kan, Ummah mau ke rumah tetangga buat bantu-bantu syukuran. Nah, Ummah minta tolong sama Qia, bisa tidak beli garam sama gula di warung ujung jalan?" tanyanya kemudian seraya memberikan uang kepada Qia.

Mendengar perintah itu, membuat Qia semakin bersemangat. Ia mengangguk tegas. "Bisa, Ummah!"

Fatma menyerahkan beberapa lembar uang, lantas Qia menerimanya. "Ini uangnya, ya. Ummah pamit dulu."

"Assalamualaikum," ucap Fatma sebelum angkat kaki. Qia mengangguk lagi sambil mencium tangan Fatma.

"Wa'alaikumussalam." Setelah mendengar jawaban salam, Fatma segera pergi.

Gadis itu melihat sekeliling. Ia mengernyit heran sambil menggigit bibir bawah. Rupanya, perempuan yang mengakui dirinya 'paling dekat' dengan Sakha itu sudah tidak ada lagi keberadaannya.

Akhirnya, Qia bisa bernafas dengan lega. Hatinya pun merasa tentram. Tidak ada lagi parasit pengganggu rumah tangga di rumah mertuanya ini. Setelah Qia menutup pintu dan membalikkan badan, ia terkesiap dengan kemunculan Sakha.

"Mau Mas temenin gak?" tanya laki-laki itu dengan seulas senyuman.

Qia menggeleng cepat. "Gak usah, Mas. Qia bisa sendiri, kok."

"Beneran?"

"Iya, Mas."

Qia memakai kaos kakinya terlebih dahulu, merapikan jilbab di depan kaca lemari pakaian. Sedangkan Sakha masih diam di tempat, tidak berpindah barang selangkah.

"Kalau gitu, Qia dulu pamit, ya, Mas." Qia meraih tangan Sakha lantas menciumnya cukup lama. "Assalamualaikum."

Sakha mengangguk, mengusap kepala Qia dengan lembut. "Wa'alaikumussalam. Fii amanillah."

Sebelum benar-benar pergi, Qia mencuri sebuah kecupan di bibir laki-laki itu. Lantas Qia melarikan diri keluar dari kamar kemudian menuju warung seraya tertawa puas.

Sakha terkekeh sambil geleng-geleng. Laki-laki itu menyentuh bibirnya sendiri dengan dada yang bergemuruh. Selang beberapa waktu, setelah keterdiamannya ia merasa haus ingin minum.

Sakha keluar dan menutup pintu. Ia berjalan hati-hati dengan tangan yang terus merambat pada tembok. Sampai akhirnya ia tiba di dapur. Mengambil gelas dan mengisinya di dispenser.

Feeling PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang