16. Luka Tak Terkisah

Start from the beginning
                                    

"Nggak. Nggak sama sekali." Chenle menepis. Nadanya memberi bantahan yang tidak serius. "Lukamu gimana? Kepalamu nggak ngempes kan?"

Chenle sempat dibuat meringis. Lelehan darah yang ia benci, menguar. Turun menyerupai air yang tengah menyusuri arusnya. Dia terus bergerak ke bawah sampai nyaris tenggelam di jelaga segelap malam milik Jisung. Tapi Chenle mencegah. Digaetnya tangan Jisung. Dia menuntun langkah, membawanya tiba ke sebuah ruang kesehatan. Desahan beratnya membuka sesi pengobatan ketika Chenle menyaksikan lingkar tangan Jisung yang berubah warna. Layaknya cat yang meluber, darahnya menghias seram tangan kanannya sebab diseka berulang kali.

Jangan khawatir. Hasilnya memuaskan. Kepala Jisung diperban walau sedikit acak-acakan.

"Kamu pikir kepalaku dibuat dari balon yang gampang kempes?"  Nyaris menyerupai gerutuan, ujaran itu terlontar. "Ngomong-ngomong, kamu lagi ngapain?"

Menunda jawabannya, Chenle memaku sesaat. Dia bisa saja berbuat jujur. Lidahnya tak keberatan untuk mengucap kalimat lagi nontonin korban pembullyan atau lagi mikirin kaitannya kamu sama pembullyan. Tapi itu terlalu fatal. Maka, Chenle menyangkal. Memberi Jisung obat penenang sementara sebelum yang ia lakukan terungkap pada waktunya.

"Main komputer."

Di seberang sana, Jisung menunduk. Meratapi jari-jemarinya yang diam tak bergeming di atas mejanya. "Lagi nge-game?"

"Nggak. Nggak ada temen. Makanya lain kali kamu belajar buat jadi partner game ku." Dia memberi saran yang kecut ditelan untuk Jisung. "Kalau kamu? Ngapain sekarang? Belajar?"

Jisung dibuat terkejut-kejut. Chenle menyerempet benar. Buku yang tebalnya nyaris menyaingi skenario hidupnya selama 17 tahun ini, tak berhasil membuat otaknya bekerja lebih keras. Yang ia tuai masih sama; kebingungan dan sesat yang dipadupadankan.

"Cuma duduk doang di—"

"Kesepian?" Chenle memangkas tangkas. Alibi itu ditebas habis sebelum kebohongannya dilemparkan sempurna. Belum sempat mengelak, Chenle lebih dulu membombardir pertanyaan lain. "Kalau gitu, ayo cerita sesuatu."

Jisung terkekeh kecil. "Cerita apa? Nggak ada yang bisa aku ceritain. Gimana kalau kamu? Aku rasa kamu punya banyak hal bagus buat diceritain. Aku bakal dengerin." Dia memberi penawaran. Enggan mendongeng tentang semua hidupnya yang hanya dipenuhi torehan luka tak tersembuhkan.

"Nggak. Aku nggak percaya kamu bakal dengerin ceritaku. Aku lebih percaya kamu pasti bakal tidur selagi aku cerita." Dari seberang sana, Chenle menolak mentah-mentah. "Kalau gitu, aku yang tanya duluan seandainya kamu bingung mau mulai darimana."

Baru setelah kesepakatan itu menyapa rungu, Jisung menganggukki tanpa sadar. "Boleh."

"Aku denger, yang bikin kepalamu berdarah kayak gitu, Song Deonghwa ya? Dia anak yang gimana sifatnya?"

Jisung menyembunyikan panik yang mulai disulut tanpa pinta. Dia mendongak. Tidak apa-apa, ini bukan pertanyaan besar. "Aku pikir dia anaknya baik. Pendiem, pinter tapi disalahartikan. Ada salah satu anak yang malah jadiin dia korban bully."

Derek roda kursinya yang ganas menggilas lantai mengkilap itu menyambangi udara. Chenle mengikis jaraknya, tak tahan untuk kembali melanjutkan untaian kalimat yang masih setia memamerkan diri di layar komputer. Lehernya terjulur. Jisung masuk ke dalam perangkapnya.

"Bully ya? Itu kedengarannya mengenaskan. Aku sering kasihan sama mereka-mereka yang dijadiin korban kayak gitu. Maksud aku, mereka kan orang baik. Kenapa manusia-manusia baik kayak gitu malah dijadiin tumbal? Walau aku nggak pernah tahu gimana rasanya, tapi dari cerita-cerita yang aku denger, mereka sebagai korban pem-bullyan pasti tertekan banget." Chenle mengerling ke sembarang arah. "Menurut kamu, gimana Jisung?" Pada akhirnya, pelurunya melesat dari moncong pistolnya. Melayang, berharap tinggi mendarat tepat pada sasarannya.

Shy Shy Jwi ✔️Where stories live. Discover now