14. Korban Lainnya

Start from the beginning
                                    

"Hei, anak gagahnya Papa." Bariton tegas milik sang kepala keluarga tahu-tahu menyeruak. Tak cukup ampuh merobohkan semua imajinasi si anak semata wayang yang dibangun tanpa kemauan. "Masih nonton basket? Bukannya hari ini jadwalnya les? Gurumu belum dateng?" Kepalanya melongok keluar ruangan.

Chenle menoleh. Penampakan sang Papa tak pernah jauh berbeda. Seakan tak pernah bosan, dia selalu muncul dalam keadaan kacamata yang terus merosot bersama setumpuk kertas kusut di genggamannya. Sesekali jemarinya turut berperan memberi sentuhan menenangkan di pelipisnya. Mengantisipasi datangnya pening yang sering mengancam.

Chenle menggeleng. "Belum. Mungkin karena hujan."

Sang Papa mengangguk-angguk setuju. "Kalau gitu, kasihan dia. Cuma buat ajarin kamu sampai harus tunggu hujan reda segala." Dia setengah menggumam.

Bagai animasi, sebuah lampu tak kasat mata seakan menyembul tepat menaungi ubun-ubun si Zhong. Tubuhnya beralih menghadap ke belakang sepenuhnya. "Nah itu tahu. Kasihan dia, kalau ternyata bela-belain sampai basah kuyup, gimana?" Nadanya dibuat menyendu. "Makanya, Pa. Aku jangan les privat lagi ya. Biar punya perjuangan dong, muridnya yang berusaha cari ilmu bukan gurunya yang malah datengin muridnya." Kemudian, dor! Peluru utamanya melesat bebas.

"Kamu bosen les privat?" Si Papa menoleh. Tangannya sibuk membetulkan letak kacamatanya yang enggan diam di tempat.

Semangat, Chenle mengangguk cepat. "Bosen, aku kesepian. Kecuali kalau Papa mau nemenin aku belajar juga. Jadi murid sekalian, bukan cuma nemenin kayak patung pajangan." Dia memberi syarat yang pastinya mustahil untuk dipenuhi. "Semenjak nggak ada si domba, aku kayak kura-kura yang betahnya cuma di dalam tempurung doang."

Papanya tergelak pelan. "Hei, panggil Yangyang, jangan domba." Dia menegur. "Gampang, kalau kamu kesepian tinggal panggil aja temenmu yang lain."

Tapi, Chenle berdecak. Tak puas dengan saran si Papa. "Nggak peka." Dumelnya sembari membuang pandang. "Aku cuma mau keluar rumah Pa. Bosen cuma liat orang-orang itu doang." Gerutuannya menyusul.

"Mau Papa sewain sirkus di ruang tamu?" Dia berkelakar.

"Gimana kalau Papa aja yang sirkus?" Chenle membalikkan umpan. Tawanya mengudara di detik selanjutnya.

"Anak nakal." Matanya melotot main-main.

"Makanya Pa, bolehin les di luar ya. Temenku juga di sana. Kalau lama-lama di rumah terus aku bisa lumutan. Papa mau bersihin lumutnya?"

Sang Papa menggeleng tak habis pikir. "Sembarangan kalau ngomong." Cibirannya menjadi respon. "Terserah kamu. Papa tim hore aja asal prestasimu ada perkembangan."

Puas, Chenle bangkit dari singgasananya. Dia menghambur. Membawa satu dekapan hangat yang menenangkan selagi hujan mendera lama. "Xie xie, Papa." Senyumnya mengembang lebar.

Itu hidup Zhong Chenle. Manakala dia menginginkan sesuatu; liburan ke Hawaii, mengembara ke sungai Amazon, atau menginginkan jiplakan menara Eiffel sekalipun, papanya nyaris bisa mengabulkan segala-galanya. Namanya kasih sayang. Makhluk menyentuh hati yang bisa membuatmu gelap mata ketika kamu dikaruniai kasih sayang.

Pelukannya diurai ketika salah satu asisten muncul tergopoh-gopoh. Gurat wajahnya melukiskan sebuah sirat ketakutan. Maka, Chenle menegur. "Ada apa?"

Si perempuan paruh baya sigap berhenti melangkah. Kepalanya menoleh. Mulutnya sedikit tergagap. Telunjuknya ragu mengarah ke depan sana. "A-anu, katanya ada seseorang di depan gerbang."

Kepala keluarga mengerutkan kening. "Siapa? Sendirian? Hujan-hujan begini?" Pertanyaannya membombardir tanpa jeda. "Bukan klien atau tamuku, kan?" Dia menerka.

Shy Shy Jwi ✔️Where stories live. Discover now