BAB 25

8.1K 1K 120
                                    


~||~

Shafira menelan salivanya dengan susah payah. Matanya berat untuk terbuka dan setelah beberapa kali mencoba, akhirnya dia berhasil membuka matanya. Hal yang pertama kali dilihatnya adalah sebuah tirai berwarna cokelat tepat dihadapannya dan selimut dengan warna senada.

            Perempuan itu mengerang begitu merasakan betapa keringnya tenggorokannya. Shafira melirik ke arah kanannya dan menemukan Mamanya sedang mengisi air mineral dari ke dalam kelas kaca dan mengangsurkannya pada Shafira dengan menggunakan sedotan.

            "Udah ma," serunya dengan suara serak serasa sudah lama dia tidak berbicara.

            Mamanya menganggukan kepala dan meletakan kembali gelas kaca itu diatas nakas. "Ada yang sakit? Mama panggil dokter ya," tanpa menunggu sahutan Shafira, beliau langsung menekan tombol bantuan.

            "Sekarang jam berapa ma? Aku kenapa lagi?" tanyanya pelan. Bingung kenapa dirinya bisa kembali terbangun dirumah sakit.

            "Sekarang jam 2 siang. Jahitan luka kamu infeksi dan akhirnya kamu harus di OP karena ternyata organ dalam kamu ada yang kena. Tapi kata dokter semua udah aman." Jelasnya.

            Shafira menganggukan kepalanya. "Udah berapa lama aku disini? Papa sama kakak mana? Ini dirumah sakit mana? Yang anter aku –" Shafira terdiam begitu sekelebat ingatannya kembali muncul dan dia teringat berada didalam mobil bersama Revaldo dan laki-laki itu yang mengantarkannya ke rumah sakit. Shafira mengingatkan dirinya untuk berterima kasih nanti pada Revaldo.

            "Papa pulang sebentar, ambil baju ganti. Kita di Siloam deket kantor kamu. Kakak kerja jadi cuma kemarin weekend aja bisa disini,  dan ini hari ke empat kamu disini. Hari pertama setelah OP kamu sempet kritis, mama gak ngerti, semua blur dikepala mama. Yang mama inget kamu harus di OP lagi setelah dokter injeksi kamu pakai antibiotic dosis tinggi, mungkin karena infeksi kamu itu. Hari ketiga kamu masih gak sadar dan sekarang kamu bangun." Sahut Mamanya sambil tertawa kecil kemudian perempuan paruh baya itu berdeham. "Kayak mimpi, Fir. Mama masih gak percaya pernah ada diposisi kemarin." Gumamnya.

            "Ma—"

            "Kamu harusnya cuma luka kecil, Fir. Kamu sering kena pisau tapi pakai plester juga sembuh kan? Jadi mama masih gak percaya, gak habis fikir aja karena pisau, mama sempet mikir gak akan ngeliat kamu lagi." ungkap sang Mama tidak bisa menahan isakannya.

            "Ma, maaf ya," gumam Shafira merasa bersalah telah menambah beban fikiran orang tuanya. Seharusnya Shafira yang menanggung beban mereka, bukan sebaliknya.

            "Bukan salah kamu, Fir. Mungkin kita lagi apes, lagi di uji karena cobaan kita datang bertubi-tubi." Ucapnya pelan. "Yang penting kamu udah baik-baik aja."

            Shafira tersenyum dan menganggukan kepalanya. Dia memang berfikir bahwa kehidupannya sedang diuji. Setelah cukup lama dirinya menikmati kenikmatan dunia, rumah yang nyaman, kendaraan yang bagus, tempat kerja yang baik sampai dia kembali beruntung dengan bisa mengenal Revaldo, mungkin Tuhan akhirnya memperhatikan dirinya, keluarganya, mengambil apa yang mereka miliki untuk melihat seberapa kuat mereka bisa bertahan dan seberapa kuat mereka bisa kembali.

            She just need a little faith that everything is gonna be okay.

            "Ma, temen aku yang –"

            "Revaldo ya? Dia ada terus disini dari pertama kamu masuk rumah sakit. Tapi hari ini dia harus ke tempat kerjanya katanya," ucapnya memotong ucapan Shafira. "Dia juga yang bantu biaya rumah sakit kamu karena asuransi dari kantormu gak cover semua dan akhirnya dia yang bantu."

His PromisesWhere stories live. Discover now