BAB 23

6.6K 915 39
                                    

Ketika Shafira membuka matanya, hal yang pertama kali dilihatnya adalah dinding berwarna biru muda dengan cat yang mengkilap dan sebuah televisi yang terpasang di dinding tepat dihadapannya. Seingatnya, dirinya tidak memiliki televisi dikamarnya. Baik saat dirumahnya yang dulu maupun dirumah barunya.

            Perempuan itu mengerutkan keningnya begitu rasa pening menghantam kepalanya. Shafira baru merasakan ada selang infus yang terpasang ditangannya begitu dia ingin memijat keningnya.

            "Udah bangun kak? Haus gak?" Shafira mendengar suara Mamanya dan perempuan itu segera mencari asal suara itu.

            "Aku kok dirumah sakit ma?" tanyanya dengan suara serak. Dia bingung. Terakhir yang diingatnya adalah dirinya pulang dari Noiré dan sedang menunggu onjek online diluar stasiun bogor.

            "Semalem kamu jadi korban jambret. Kata orang-orang disana kamu ngelawan dan penjambret itu tusuk perut kamu." Jelas sang Mama. "Kamu inget kan?"     

            Tepat saat Mamanya menyelesaikan ucapannya, langsung saja Shafira dapat merasakan nyeri dibagian perutnya. Secara refleks perempuan itu mengusap perutnya dimana rasa nyeri itu terasa.

            "Iya aku inget." Sahutnya pelan. "Terus aku gimana?"

            "Kamu gak apa-apa, tapi perut kamu dapet 18 jahitan. Nanti malam udah boleh pulang dan kamu harus balik 10 hari lagi untuk lepas jahitan."

            Shafira menghela nafas. "Syukurlah. Terus biayanya gimana? dompet sama barang aku yang lain gimana ma?"

            "Alhamdulillah di cover asuransi kamu dari kantor." Jawabnya. "Tas kamu semuanya aman dibawa sama yang nolongin kamu."

            Shafira menganggukan kepalanya. "Terus kata dokter apa lagi?"

            "Hmm, kamu harus cuti kerja dulu 3 hari sampai jahitannya gak sakit lagi. Mama belum hubungin kantor kamu karena Mama gak tau harus hubungi siapa dan karena ini weekend jadi Mama pikir hari senin aja kamu kabarinnya."ucap Mamanya. "Oh iya kamu harus bikin laporan ke kantor polisi, mau dilanjutin kasusnya atau dilepasin aja. jambretnya kabur naik motor kalau mau dilanjut polisi akan cari mereka."

            "Okey." Sahutnya pelan. Terlalu banyak informasi yang masuk ke dalam kepalanya membuatnya pusing. Dia harus mencerna semuanya secara perlahan.

            Pertama dia harus menghubungi kantor untuk mengabarkan bahwa dirinya sakit dan surat sakitnya akan menyusul, kedua dia tidak ingin memperpanjang masalahnya. Selama dia baik-baik saja dan tidak ada biaya yang perlu dikeluarkan sepertinya dia akan menerimanya saja. Mungkin nasibnya sedang jelek.

~||~

            Awalnya Shafira tidak mengizinkan perwakilan dari kantornya untuk menjenguknya karena Shafira belum melaporkan alamat rumah terbarunya kepada HRD. Namun karena mereka malah terlihat curiga kalau Shafira berbohong, maka akhirnya Shafira memperbolehkan perwakilan HRD dan atasannya untuk datang mengunjunginya dengan catatan tidak menginformasikan kepada siapapun mengenai kejadian yang dialami Shafira.

            Selain itu, Sarah juga datang dan menginap dua malam dirumahnya dengan alasan untuk membantu pemulihan Shafira, padahal sebetulnya perempuan itu sedang suntuk dan tidak ingin sendiri. Shafira tidak keberatan dengan keberadaan Sarah sebab Shafira baru dapat merasakan nyeri pada perutnya saat dia mencoba berdiri, dan berjalan lebih dari 5 langkah dan bahkan saat mencoba untuk duduk dan kembali merebahkan dirinya dikasur dan dia memang membutuhkan Sarah ada disampingnya. Dia tidak ingin menambah pekerjaan Mamanya karena kini setiap pagi beliau membuka warung kecil-kecilan menjual sarapan pagi di dekat daerah perkantoran.

His PromisesWhere stories live. Discover now