01. Seterang Bintang

Mulai dari awal
                                    

Si Zhong membulat kecil. "Akhir-akhir ini mulutmu nggak difilter. Perlu aku beliin saringan yang dilapisi emas?"

Biasanya pemuda Liu yang tengah menjinjing kopernya itu dipastikan akan mendecih muak atau yang paling parah mengambil tindak kekerasan—menghujani Chenle dengan cubitan maut atau apalah itu. Tapi kali ini, dia malah terkekeh kecil. Tahu-tahu kedua tangannya merentang, membawa yang lebih muda masuk ke dalam dekapannya.

"Baik-baik ya di sini. Cari temen yang banyak, jangan sombong kalau sewaktu-waktu aku berkunjung atau sibuk telponin kamu dari sana. Cari temen yang songong kayak kamu susah." Yangyang memberi petuah kecil. Telapak tangannya tergerak menciptakan bunyi debum kecil ketika membentur punggung milik Chenle.

"Aku terima pujiannya. Kamu jangan sok sibuk, kerjaan cuma baringan doang sok mau lupain aku. Jangan macem-macem, kamu masih punya hutang 20.000 won yang belum dikembaliin."

Di satu detik berikutnya, Yangyang mengurai pelukan itu. Rautnya hilang akan sebuah haru yang sempat menyelimuti. Penampakannya berubah datar seakan ia tidak sedang merasakan apapun saat ini.

Kemudian tangannya mengibas. "Pulang sana."

Chenle melotot. Telunjuknya mengarah pada dirinya sendiri. "Kamu ngusir aku?"

"Iya. Aku ngusir kamu tuan muda yang terhormat." Yangyang menegaskan. "Sana pulang, nanti dicariin satu negara siapa yang repot? Pesawatku berangkat sebentar lagi."

Enteng, kedua bahu itu diangkat acuh. "Ya udah sana masuk. Kayaknya aku harus beli bandara ini biar kamu nggak seenaknya usir aku." Kepalanya mendongak. Tatapannya disapukan bersama dengan sebentang senyum tipis yang diulas.

"Bercandanya anak ber-uang emang berat banget buat dicerna." Yangyang menggumam kecil. "Hei, Zhong! Aku bener-bener harus berangkat sekarang. Jangan kelamaan keluyuran, sampai jumpa!"

Pada akhirnya, Chenle tak bisa mengulur waktu lebih lama lagi. Yangyang melenggang pergi. Senyum manisnya masih sempat dipamerkan bersama dengan lambaian tangannya dan langkah yang kian menjauh. Tak tergerak membalas, Chenle tegap berdiri di titiknya. Memandang sang sobat yang tahu-tahu ditelan pintu.

Walau keahlian Liu Yangyang itu membangkitkan emosi, tapi Chenle gagal mengusir rasa nyaman sebagai seorang teman. Yangyang asyik. Sama supelnya, dia juga andal menciptakan lingkup pergaulan. Wawasannya luas kecuali tentang saham. Tapi dengan hati yang besar, Zhong Chenle menutupi kekurangannya dengan pengetahuannya seputar saham dan tetek-bengeknya.

Bunyi bising yang memekakkan rungu pun mengudara. Dari sana, Chenle menyaksikan pesawat yang ditunggangi Yangyang telah lepas landas. Liu Yangyang-nya benar-benar meninggalkan dirinya.

Satu hembusan nafas berat menyusul. Kepalanya jatuh tertunduk. Tangan kanannya merogoh saku celana yang dibandrol jutaan won. Men-dial nomor sang Papa. Kemudian,

"Papa, beliin aku temen baru."

ꗃꠂꠥ

Sebuah kondisi dimana kamu merasa separuh jiwamu dilanda kekosongan itu tanda-tanda bahwa kamu tengah menyelami fase paling berat dalam hidup. Namanya kehilangan. Datangnya tak pernah diduga-duga. Tak bisa ditentang apalagi dinegosiasi. Tak peduli kamu siap atau belum, kehilangan harus bisa diterima walau didasari paksaan.

Beberapa dari mereka terpuruk, beberapa sisanya enteng ketika dihadapkan dengan yang namanya kehilangan. Itu tergantung sesuatu yang meninggalkanmu. Tergantung apa yang hilang. Tergantung seberapa banyak kamu menghargainya.

Zhong Chenle asing dengan apa yang disebut kehilangan. Siklus hidupnya mudah. Kehilangan barang kesayangannya? Tinggal gesek kartu dalam satu detik, lantas tada! Dia berhasil mendapat barangnya yang hilang.

Shy Shy Jwi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang