Our Apartment [22]

11.9K 761 46
                                    

Hai! Selamat sore :)

Maaf menghilang hingga sebulan, karena sibuk ngurusin praktikum, laporannya, sama ujian. Belum lagi asisten dosennya galak minta ampun -_- terkena tekanan batin selama praktikum ini :(

Well, semoga part selanjutnya nggak memakan waktu sampe sebulan yaa.. ini jua baru diketik sejak dua hari yang lalu dan baru selesai, makanya langsung di post...

Semoga part ini bisa menghibur pembaca yang lagi badmood, dan semoga gak muntah begitu selesai baca part ini :3

HAPPY READING!

AWAS TYPO!

oOoOoOoOo

Memasuki bulan November, dan suhu semakin menurun membuat suasana menjadi hangat, khas musim gugur. Pohon-pohon dinaungi oleh daun yang berwarna kecoklatan. Dan semakin banyak orang-orang yang memilih untuk berjalan kaki agar bisa menikmati musim gugur tersebut.

Sudah dua minggu dia tidak bertemu dengan Justin karena laki-laki itu masih menetap di Banff untuk pengobatan tangannya. Seharusnya laki-laki itu sudah pulang satu minggu sebelumnya, namun karena kecerobohan Justin sendiri tangannya yang terkilir kembali bermasalah. Bisa-bisanya laki-laki itu membenturkan tangannya yang luka itu pada pintu kamar mandi.

"Aku benar-benar akan mati bosan disini," ujar Justin dengan nada dramatis.

Nicole memperbaiki posisi duduknya. Dia melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul setengah satu siang. Sebentar lagi jam makan siang akan habis dan dia akan kembali mengajar. "Kau selalu mengatakan itu setiap meneleponku," balas Nicole santai.

"Aku serius, Nic," sungut Justin. "Suatu anugrah Pattie membolehkanku memegang ponsel sejak dua hari yang lalu."

Nicole memutar bola matanya. "Kalau kau tidak membenturkan tangan kananmu pada pintu, kau tidak akan mati kebosanan disana. Itu salahmu sendiri, jadi terima saja!"

Justin mendesah. "Aku terpeleset karena lantai kamar mandi itu licin sekali. Aku terhuyung ke depan dan tanganku membentur pintu dengan keras. Kau pikir aku tidak waras, membenturkan tanganku dengan sengaja?"

"Mungkin saja," ujar Nicole dengan suara polos.

Justin berdecak. "Sayang, kau tahu kenapa aku sampai terpeleset?"

"Aku tidak tahu dan jangan panggil aku sayang," balas Nicole ketus. Dengan cepat dia melarikan tangan kanannya ke pipi. Berharap wajahnya tidak memerah. Demi Tuhan, sekarang dia benar-benar seperti remaja yang baru saja berkencan untuk pertama kalinya.

"Aku terlalu senang karena akan pulang ke D.C sehingga aku bisa bertemu denganmu. Tapi yang terjadi malah sebaliknya," sungut Justin, mengabaikan protes Nicole. "Akhirnya aku malah semakin lama di tempat ini."

Nicole tidak menyahut sama sekali.

"Tapi tenang saja, besok  malam aku akan pulang dan siangnya kita bisa berkencan," ujar Justin semangat. "Tanganku benar-benar sudah membaik. Dokter bilang aku sudah bisa mengemudikan mobil. Menyenangkan, bukan?"

"Kau pulang besok?" tanya Nicole syok.

"Iya. Kenapa?" tanya Justin. "Kau sudah tidak sabar ingin berjumpa denganku?"

"Cih!" Nicole mendengus. "Jangan terlalu bermimpi, Sobat."

Justin tertawa keras. "Aku benar-benar tidak sabar untuk membuatmu jatuh cinta padaku."

Nicole kembali mendengus. "Tidak mudah membuatku jatuh cinta, kau tahu?"

"Benarkah? Itu malah terdengar semakin menarik," balas Justin santai. "Tampaknya aku benar-benar harus mengerahkan semua pesonaku, ya?"

Our ApartmentWhere stories live. Discover now