Perantara Hidayah

59 7 0
                                    

Di perjalanan pulang. Kasih menyenderkan kepalanya di punggung ayahnya saat menyetir motor. "Ayah janji akan ceritain semuanya ke Kasih?" tanya Kasih. Tanpa menoleh, ayahnya mengangguk dengan cepat. "Iya, Nak. Ayah janji akan ceritain semuanya ke Kasih." Kasih melingkarkan kedua tangannya di perut ayahnya dengan semakin erat.

Selang beberapa menit, tibalah mereka di rumah. Kasih dan ayahnya bergegas turun dari motor. Setelah masuk ke dalam rumah, ia bergegas ke dapur dan membuatkan ayahnya kopi hangat.

"Ayah, diminum kopinya," titah Kasih dan meletakkan secangkir kopi di atas meja.

"Makasih banyak, Nak. Padahal ayah nggak minta dibuatkan kopi," kata ayahnya.

"Nggak papa, Yah. Kasih tau ayah pasti capek," kata Kasih.

"Oh iya, Yah. Besok pembayaran pendaftaran olimpiade matematika," ucap Kasih memberitahu ayahnya.

"Sebentar, Nak. Ayah ambil dulu uangnya." Ayahnya beranjak berdiri dan berjalan ke kamar untuk mengambil uang.

Selang menunggu ayahnya kembali dan membawa uang pendafataran olimpiade Kasih merapalkan kedua tangannya di atas pahanya. Tak lama kemudian, ayahnya datang dengan membawa uang dua ratus ribu rupiah untuk biaya pendaftaran mengikuti olimpiade matematika.

"Ini, Nak. Disimpan baik-baik, ya. Besok kamu bayarkan uang ini." Ayahnya menyodorkan uang serarus ribuan dua lembar di atas meja.

Kasih memandangi uang itu. "Ayah nggak keberatan?" tanya Kasih yang masih ragu. Ayahnya mengangguk. "Iya, Nak. Ayah nggak keberatan. Lagipula, ayah masih punya sisa tabungan."

"Belajar yang rajin dan sungguh-sungguh. Semoga berhasil," ucap ayahnya menyemangati.

Kasih tersenyum lebar. "Maksasih banyak, Ayah. Kasih sayang ayah." Kasih menyambar uang pemberian ayahnya.

"Ayah juga sayang kamu, Nak. Apapun pasti ayah lakuin demi kamu, Nak," ucap ayahnya dan mendekap tubuh Kasih.

"Iya, termasuk kasih sayang yang nggak pernah ibu kamu berikan buat kamu, Nak." Ayahnya membatin sembari dengan mata yang basah.

***

Malam ini, Kasih tengah fokus belajar matematika. Mungkin karena fokusnya pada belajarnya, dia lupa untuk memastikan kembali cerita apa yang sebenarnya terjadi yang akan diceritakan semuanya oleh ayahnya. Dan ayahnya pun tak berani mengganggu Kasih yang tengah fokus belajar. Ayahnya hanya menyelundupkan kepalanya ke dalam kamar Kasih. Ayahnya kembali masuk ke kamarnya.

"Alhamdulillah, besok bisa ketemu Bu Melati lagi. Mulai besok, aku bisa belajar matematika sama Bu Melati," tekad Kasih.

"Huammm ...." Kasih menguap dan langsung menutup mulutnya dengan tangan kanannya.

Ia membereskan buku-buku dan setelah itu beranjak berdiri dari tempat duduk. Belum sempat berjalan ke arah tempat tidur, namun ia merasakan kunang-kunang di kepalanya. Ia memegangi kepalanya dan memutuskan untuk kembali duduk.

"Kenapa rasa pusingnya kambuh lagi? Apa karena aku sering begadang, ya?" Kasih bertanya-tanya kepada dirinya sendiri.

Akhir-akhir ini, dia sering sekali merasakan kepalanya pusing dan suka merasa lelah. Entah dia sakit apa. Mungkin dampak buruk karena ia memang sering begadang sekarang.

Setelah dirasa kepalanya sudah tak pusing lagi, Kasih berdiri dan berjalan ke ranjang. Ya, berhasil. Kasih membaringkan tubuhnya di atas ranjang sembari berselimut dengan sarung milik ayahnya. Tanpa berpikir panjang, Kasih memejamkan matanya.

Ceklek!

Tak lama kemudian, ayahnya Kasih masuk ke dalam kamar Kasih. Lalu, ia berjalan mendekati Kasih yang sudah tertidur pulas.

Ayahnya tersenyum. "Sudah tidur rupanya," ucapnya sembari duduk di tepi ranjang.

"Mungkin ini saat yang tepat untuk ayah menceritakan semuanya padamu, Nak. Tujuh belas tahun ayah menutupinya dari kamu, dan ini saatnya kamu harus tau semuanya, Nak." Ayahnya mengelus lembut rambut panjang Kasih. Lalu, mencium keningnya. Setelahnya, ayahnya melenggang keluar dari kamar Kasih.

***

Sinar mentari menyelimuti bumi pagi ini. Kasih berharap, kemarin adalah hari terakhur di mana Laura dan gengnya mengganggunya. Ia berharap hari ini adalah hari kebebasannya. Ia menatap diri di depan cermin sembari menyisir rambutnya. Tangannya meraba-raba rambutnya. Dia menghentikan aktivitasnya.

"Rontok? Sebanyak ini?" Kasih terkejut ketika melihat rambutnya rontok sebanyak itu.

"Apa shampo nya nggak cocok?" Dengan polosnya ia menduga bahwa shampo yang ia gunakan tak cocok di rambutnya.

Tok ... Tok ... Tok ...

Mendengar pintu diketuk, Kasih terperanjat dan bergegas membuang rambut rontoknya di lantai.

"Nak, ayah boleh masuk?" tanya ayahnya dari luar kamar Kasih.

"Masuk aja, Yah." Kasih mengizinkan.

Ceklek!

Pintu dibuka. Ayahnya tersenyum dan menutup pintu kamar Kasih. Kasih bergegas mengenakan jilbabnya.

"Nak, hari ini biar ayah antar kamu ke sekolah, ya." Tidak srperti biasanya ayahnya menawarkan diri untuk mengantar Kasih ke sekolah.

Kasih menoleh. "Nggak usah, Yah. Kasih bisa naik angkot kok," ucap Kasih sembari memasang pentul di jilbabnya.

Gadis baik itu berjalan ke arah ruang kelasnya. Tapi, tiba-tiba ...

"Kasih!!!" seru seseorang memanggilnya dari belakang. Kasih pun menoleh.

"Nayara?" sahut Kasih setelah melihat sahabat baiknya itu berjalan mendekatinya.

Setelah berdiri di hadapan Kasih, Nayara membuka tasnya dan mengambil sesuatu dari dalam sana. "Kasih, bisa minta tolong pakaikan ini?" pinta Nayara sembari menyodorkan sebuah kain putih. Tunggu! Tunggu!

"Jilbab?" Kasih terkejut. Rupanya kain putih itu adalah jilbab beserta ciput.

"Nayara?" panggil Kasih.

"Hm?"

"Kamu serius mau pakai jilbab?" tanya Kasih dengan masih tak percaya. Dengan cepat Nayara mengangguk. "Iya, Kasih. Mulai hari ini, aku mau pakai jilbab kayak kamu." Tampak senyum lebar terlukis di bibir mungil Nayara.

Kasih tersenyum haru mendengar Nayara ingin memakai jilbab. Inikah hidayah? Datangnya sesuai kehendak Allah.

"Biar aku pakaikan jilbabmu, Nayara," tawar Kasih.

Dengan lembut Kasih mulai memakaikan ciput di kepala Nayara. Setelahnya, Kasih memakaikan jilbab putih yang tidak terawang untuk menutupi kepala dan leher.

"Selesai," ucap Kasih setelah selesai memakaikan jilbab pada Nayara. Ia menatap wajah Nayara lamat-lamat.

"Ada apa, Kasih?" tanya Nayara bingung setelah mendapati Kasih tersenyum padanya.

"Maa Syaa Allah, kamu cantik banget, Nayara." Mata Kasih berkaca-kaca.

Nayara terkekeh. "Kamu bisa aja, Kasih." Nayara menggenggam tangan Kasih. "Semoga aku bisa istiqomah kayak kamu, Kasih." Kasih tersenyum lebar. "Aamiin."

Nayara mendekap tubuh Kasih. "Makasih banyak, Kasih. Kamu membawa perubahan baik buat aku. Makasih udah mau jadi sahabat baik aku," ucap Nayara. Kasih mengelus punggung Nayara. "Aku juga mau bilang makasih banyak sama kamu, Nay. Makasih udah mau jadi sahabat baik aku. Makasih karena kamu udah baik banget sama aku, Nay."

"Kasih, badan kamu panas. Kamu sakit?" tanya Nayara yang baru menyadari kalau badan Kasih terasa panas menyentuh kulitnya. Nayara melepaskan pelukannya.

Nayara menangkupkan kedua tangannya di pipi Kasih. "Kasih, kamu sakit?" tanya Nayara lagi. Tampak ia panik melihat wajah Kasih yang pucat pasi. Dengan cepat Kasih menggeleng. "Nggak kok, Nay.

"Serius, Kasih?" Nayara memastikan bahwa Kasih baik-baik saja. Kasih mengangguk.

"Yaudah, masuk ke kelas, yuk. Bentar lagi bel pasti bunyi," ucap Nayara. Kasih mengangguk. Mereka berdua melenggang masuk ke dalam ruang kelas masing-masing.



Ibu PenggantiWhere stories live. Discover now