Selembar Foto

84 10 2
                                    

Gadis malang itu pulang dengan tangan hampa. Ia tak tahu harus berkata apa kepada ayahnya nanti ketika melihatnya pulang dengan semua kue pukis yang kotor. Sedih hatinya. Hari ini, ia tak bisa menabung untuk biaya kuliahnya nanti.

Sesampainya di depan rumah, ia duduk di kursi reot sembari dengan memandangi kue pukisnya yang semuanya kotor dan sama sekali tak layak jual.

"Nak, kok kamu udah pulang?" tanya ayahnya ketika melihat Kasih tengah duduk di depan rumah.

"Eh, Ayah." Kasih terperanjat. Ia terkejut.

"Kenapa udah pulang?" tanya ayahnya lagi sembari mengelus lembut lengan putrinya itu.

Tatapan Kasih kembali sendu. Ia bimbang apa yang harus ia katakan kepada ayahnya. Mengatakan yang sebenarnya? Tidak mungkin. Itu akan justru membuat ayahnya semakin kepikiran.

"Nak, ada apa?" tanya ayahnya lagi. Beberapa kali ayahnya mengajukan pertanyaan yang sama, tetapi belum juga mendapat jawaban dari Kasih.

"Emmm ... sebenarnya semua kue pukisnya jatuh, Ayah. Ini semua kesalahan Kasih. Maafin Kasih ya, Ayah." Kasih menunduk. Ia berbohong kepada ayahnya. Perih hatinya mengatakan kebohongan terhadap ayahnya. Kenapa kamu berbohong kepada ayahmu, Kasih? Bukankah ayahmu selalu mendidikmu untuk menjadi anak yang jujur?

"Jangan sedih, Nak. Nggak papa. Bukan rezeki kita hari ini," ucap ayahnya sembari menepuk bahu Kasih pelan,  mengisyaratkan Kasih untuk kuat.

Kasih mendongak setelah bahunya dikuatkan oleh ayahnya. "Ayah nggak marah sama Kasih?" tanyanya.

Ayahnya justru tersenyum dan mengernyitkan dahi. "Buat apa ayah marah sama kamu, Nak?" tanya ayahnya. Kasih hanya diam, tak berbicara apa-apa.

"Jangan dipikirin, ya. Lebih baik sekarang kamu makan siang. Ayah udah beliin makan siang buat kamu." Ayahnya tersenyum. Lalu, gadis manis itu hanya mengangguk.

Setelahnya, ayah dan anak itu berjalan masuk ke dalam rumah. Duduklah mereka pada ruang tamu yang lumayan sempit. Di meja, tampak sebungkus makanan dengan sendok yang sudah ada di sana. Kasih menoleh ke arah ayahnya.

"Ayah, kok cuma sebungkus makanannya? Buat ayah mana?" tanya Kasih ketika ia hanya melihat sebungkus makanan.

Ayahnya mengulum senyum. "Ayah udah makan tadi, Nak. Itu makan siang buat kamu aja," ucap ayahnya.

Raut wajah Kasih kembali sendu. Senyum yang terlukis di wajah ayahnya tak bisa mengelabuinya. Kasih tahu, ayahnya pasti belum makan. Ayahnya berbohong padanya, karena ayahnya tak mau melihatnya bersedih hati.

Dibukalah bungkusan itu oleh Kasih. Ada nasi dan lengkap dengan lauk yang mengenyangkan perut. Kasih memang lapar, tapi ia tak lupa dengan ayahnya. Ayahnya juga pasti kelaparan.

"Kasih tau ayah pasti belum makan. Kita makan berdua ya, Ayah." Kasih menyendok sesendok nasi dan lauk. Lalu, menatap wajah ayahnya yang tengah menyunggingkan senyum.

"Ayah udah makan, Nak. Habisin ya, biar kenyang." Meskipun lapar tengah menghajar, tapi seorang ayah akan bisa menahannya demi mementingkan anak tercintanya terlebih dahulu.

"Ayah nggak jago berbohong di depan Kasih. Kasih tau ayah juga lapar." Kasih tak percaya ucapan ayahnya, karena ia tahu kebiasaan ayahnya yang baru akan makan ketika Kasih sudah selesai makan. Gambaran seorang ayah yang begitu menyayangi anaknya, mementingkan anaknya terlebih dahulu ketimbang dirinya sendiri.

Ayahnya mengulum senyum.

"Biar Kasih suapin ya, Ayah." Gadis manis itu tersenyum lebar, tampak wajahnya yang semakin manis. Seketika itu, ayahnya mengangguk pelan. Anaknya begitu peka terhadap keadaannya.

"Makasih ya, Nak." Kasih begitu telaten menyuapi ayahnya.

Kasih geleng-geleng kepala. "Harusnya Kasih yang bilang makasih ke ayah. Ayah udah merawat dan membesarkan Kasih sendirian, tanpa ibu. Semoga ibu tenang di alam sana ya, Ayah." Raut wajah sendu tertampil di permukaan wajahnya. Kasih tak dapat menyembunyikan kerinduannya terhadap ibunya. Bagaimana tidak? Dari kecil ia belum pernah melihat seperti apa sosok ibunya.

"Andai kamu tau cerita yang sebenarnya, Nak." Ayahnya bergumam dalam hati sembari dengan mata yang berkaca-kaca.

Suap demi suap Kasih menyuapi dirinya dan ayahnya. Meski tak begitu kenyang karena makan satu bungkus berdua, tapi Kasih tetap bersyukur. Setidaknya beberapa suap makanan masuk ke dalam perutnya dan perut ayahnya. Ia tak mau dirinya kenyang, sedangkan ayahnya justru kelaparan.

"Ayah, Kasih masuk ke dapur dulu," pamit Kasih setelah makannya sudah habis. Lalu, ayahnya mengangguk.

Gadis manis itu bangkit dari tempat duduknya dan melenggang ke dapur sembari membawa wadah box kue pukisnya yang kotor. Lalu, dia meletakkannya di atas meja dapur dan ditatapnya kue pukisnya itu lekat-lekat. Ia tak menyangka jika nasibnya hari ini akan seperti itu.

"Nggak papa, belum rezeki." Kasih membatin. Lalu, ia membawa wadah box itu untuk membuang semua kue pukisnya di belakang rumah.

Kasih menghela napas panjang ketika membuang semua kue pukisnya. "Semoga Allah kasih rezeki besok," ucapnya dan kembali masuk ke dalam rumah.

Kasih berjalan melewati kamar ayahnya, terdengarlah suara isakan tangis dari dalam kamar ayahnya yang menjadi pusat perhatian Kasih. Ia menghentikan langkahnya dan mendekatkan telinganya di pintu kamar ayahnya. Ia penasaran dan bertanya-tanya. "Ayah nangis? Kenapa ayah nangis?" batinnya.

Tanpa berpikir panjang, diketuklah pintu kamar itu oleh Kasih. "Ayah, apa Kasih boleh masuk?" tanya Kasih meminta izin.

"Iya, Nak. Masuk aja," ucap Ayahnya dari dalam kamar. Setelah mendapat izin dari ayahnya, Kasih membuka pintu itu dan mendapati ayahnya yang tengah duduk manis di atas ranjang. Kasih tersenyum dan duduk di samping ayahnya. Ia melihat sebuah foto yang disembunyikan di tangan ayahnya.

"Ayah, itu foto apa? Kasih boleh liat?" tanya Kasih.

"I ... ini ...." ucap ayahnya dengan nada suara yang terbata-bata.

Tanpa berkata-kata lagi, ayahnya menyodorkan lembar foto kepada Kasih. Kasih tersenyum dan menerima lembar foto itu. "Ini foto siapa, Ayah? Apa ini foto ibu?" Kasih terkejut. Baru pertama kali ini ia melihat foto wanita yang disimpan ayahnya, menurutnya tidak salah lagi, pasti itu foto ibunya. Ibu yang sudah meninggal setelah melahirkannya.

"Itu ... foto ibumu," ucap ayahnya. Seketika Kasih menoleh ke arah ayahnya. Lalu, dilihatnya kembali wajah wanita yang ada di foto itu.

Mata gadis manis itu berkaca-kaca, menyiratkan kesedihan yang mendalam. "Ini foto ibu?" Kasih mengulang kalimat itu.

Ayahnya mengangguk. "Iya, Nak."

Dilihatnya lekat-lekat wajah ibunya. Lalu, didekaplah foto ibunya erat-erat. Air matanya mengalir. Kerinduannya semakin memuncak setelah ia tahu seperti apa wajah ibunya, ternyata sangat mirip dengan wajahnya. "Kasih kangen ... banget sama ibu. Semoga ibu tenang di sana, ya. Kasih selalu doain ibu supaya ibu dikasih tempat yang terbaik sama Allah." Ucapan Kasih membuat ayahnya ikut menangis. Lalu, dipeluklah putri kesayangannya itu.

"Andai kamu tau, Nak. Ibumu belum meninggal, tapi ...." batin ayahnya yang tak kuasa untuk melanjutkan ucapannya.

Jadi, apa yang sebenarnya dirahasiakan ayahnya mengenai ibunya terhadap Kasih?

Ibu PenggantiOù les histoires vivent. Découvrez maintenant