Sosok di Lampu Merah

69 9 0
                                    

"Kasih ... sini," titah Bu Melati. Kasih yang sedari tadi diam mematung, akhirnya tersenyum dan perlahan mendekat ke arah Bu Melati yang tengah duduk di tepi ranjang.

"Duduklah," titah Bu Melati lagi. Kasih duduk di samping Bu Melati.

"Ini Kasih, Bu. Anaknya baik ... banget. Dia juga pintar di sekolahnya. Melati sudah anggap dia seperti anak Melati sendiri, Bu. Kasihan dia, ibunya meninggal setelah melahirkannya." Bu Melati menceritakan Kasih kepada ibunya cukup panjang. Tampak sunggingan senyum dari bibir Bu Halimah.

"Ibu mau anggap Kasih seperti cucu ibu sendiri?" tanya Bu Melati. Mendengar pertanyaan dari anaknya itu, sontak membuat Bu Halimah meneteskan air mata. Selang beberapa menit, Bu Halimah menganggukkan kepalanya, isyarat bahwa ia mau menganggap Kasih seperti cucunya sendiri.

Bu Melati dan Kasih mengerti arti anggukan dari Bu Halimah. "Kasih senang?" tanya Bu Melati dengan mata yang berkaca-kaca. "Kasih senang ... banget, Bu. Selama ini Kasih nggak pernah ngerasain pelukan seorang ibu. Kasih juga nggak pernah ngerasain pelukan nenek. Kasih cuma punya ayah yang sekaligus jadi ibu buat Kasih. Makasih banyak, Ibu, Nenek." Tangis Kasih pecah ketika menceritakan panjang lebar bahwa selama masih bayi hingga remaja, ia tidak pernah merasakan pelukan dari ibunya maupun neneknya. Anak mana yang tak sedih? Anak mana yang tak mempertanyakan "Mengapa aku dilahirkan, jika setelah itu aku kehilangan ibuku sendiri untuk selama-lamanya?"

Kasih menangis sesenggukan. Bu Melati yang tak tega melihat Kasih seperti ini, akhirnya ia mendekap tubuh Kasih. Ia juga tak bisa membendung air matanya. Seperti Kasih yang merindukan sosok seorang ibu, pun dengan Bu Melati yang merindukan sosok seorang anak. "Kasih tau? Bu Melati juga nggak pernah peluk anak ibu." Dua orang yang tengah merindukan sosok yang berarti di hidup mereka masing-masing. Ruang kamar Bu Halimah mengharu biru, hingga Bu Halimah sendiri hanya bisa menangis. Ia tak bisa berkata apapun. Ia sudah tak bisa berbicara lagi karena sakit stroke yang dideritanya bertahun-tahun.

"Jangan sedih lagi, ya. Nanti Kasih bisa main ke sini lagi. Bu Melati bakal senang kalo Kasih main ke sini lagi. Nenek juga pasti senang. Iya kan, Nek?" Bu Melati menoleh. Lalu Bu Halimah menganggukkan kepalanya dan tersenyum tipis.

"Iya, Bu. Nenek yang sehat-sehat, ya. Nanti besok Kasih ke sini lagi." Bu Halimah kembali menganggukkan kepalanya pelan.

"Bu, Nek. Kasih pulang dulu, ya. Kasihan ayah ... pasti nyariin Kasih." Kasih pamit untuk pulang. "Hati-hati di jalan ya, Nak." Kasih mengangguk dan mencium tangan Bu Melati dan Bu Halimah.

"Ibu istirahat lagi aja. Melati mau antar Kasih ke depan." Ibunya hanya menyunggingkan senyum. "Dah, Nenek." Kasih melambaikan tangan, isyarat sampai jumpa kembali. Bu Halimah tersenyum bahagia. Ia mendapatkan seorang cucu yang tak disangka-sangka.

Bu Melati mengantarkan Kasih ke depan rumah. "Bu, Kasih pamit pulang. Assalamu'alaikum." Bu Melati mengelus pucuk kepala Kasih. "Wa'alaikumussalam. Hati-hati di jalan, Nak." Kasih mengangguk dan melenggang dari rumah Bu Melati.

Kasih berjalan melewati gang, dan untungnya ada angkot yang berhenti di depan gang itu. Kasih bergegas untuk masuk ke dalam angkot. "Ayah pasti nyariin," gumamnya dalam hati dengan rasa khawatir.

Selang beberapa menit karena jarak rumah Bu Melati dan rumahnya tidak terlalu jauh, ia tiba di depan gang jalan menuju rumahnya. "Maksasih, Pak." Kasih turun dari angkot dan menyodorkan ongkos angkot.

Kasih setengah berlari menuju ke rumahnya. Ia takut ayahnya khawatir dan mencarinya karena lumayan lama ia berada di rumah Bu Melati. Gadis itu berhenti di depan rumah dengan napas yang terengah-engah. Belum ia atur kembali napasnya yang naik turun, ia bergegas membuka pintu. Namun, ternyata pintu rumahnya masih dikunci. "Lho, ayah belum pulang?" tanyanya heran. "Atau ayah nyariin aku?" lanjutnya.

Dengan pikiran yang penuh tanda tanya, tak lama kemudian terdengar suara khas motor ayahnya yang butut. "Suara motor ayah," ucap Kasih dan membalikkan tubuhnya. Dan benar, ayahnya tiba dengan motor kesayangannya. Kasih tersenyum dan menghela napas lega melihat ayahnya yang baru saja tiba di rumah.

"Assalamu'alaikum," salam ayahnya ketika melihat Kasih yang masih berdiri di depan rumah. Ayahnya turun dari motor. "Wa'alaikumussalam, Ayah." Kasih membalas salam salam ayahnya sembari mencium tangan ayahnya.

"Ayah darimana?" tanyanya kemudian. Kasih melihat ayahnya membawa kantong plastik entah berisi apa.

"Ayah punya sesuatu buat kamu, Nak." Kasih mengernyitkan dahi melihat ayahnya menyodorkan kantong plastik itu.

"Ini apa, Yah?" tanya Kasih setelah menerima kantong plastik itu dari ayahnya. Ayahnya menyunggingkan senyum. "Buka aja, Nak." Mendapat perintah dari ayahnya, akhirnya Kasih membuka kantong plastik itu.

"Ini ...." Kasih terkejut. Matanya terbelalak tak percaya. Ia menatap ke arah ayahnya yang tersenyum lebar.

"Ini rok buat Kasih, Yah?" tanya Kasih ketika ia tahu mendapati rok dari ayahnya.

Lalu, ayahnya mengangguk pelan. "Ayah belikan Kasih rok, karena ayah tau rok Kasih robek," ucap ayahnya kemudian. Kasih tak menyangka jika ayahnya tahu bahwa roknya robek. Kasih tak bisa berkata apapun selain matanya yang berbicara. Matanya berkaca-kaca.

"Makasih banyak, Ayah." Sontak Kasih memeluk ayahnya. Bagi Kasih, ayahnya itu sekaligus ibu. Jika ia belum pernah mendapat pelukan hangat dari ibunya, setidaknya ada pelukan hangat dari ayahnya yang menghangatkan tubuhnya.

"Kamu belum makan siang, Nak?" tanya ayahnya. Kasih menggeleng. "Gimana kalo siang ini kita makan di luar, kamu mau?" tawar ayahnya. Kasih tersenyum lebar. "Mau banget, Yah. Tapi, makannya jangan yang di tempat mahal ya, Yah. Kasih malah suka makan di warung pinggiran, yang penting makannya bareng ayah," ucap Kasih dan menampilkan senyum manis untuk ayahnya.

Lalu, ayahnya mengangguk pelan. "Iya, Nak." Kasih melepas pelukannya. "Yaudah, Yah. Kasih mau ganti baju dulu, ya." Ayahnya mengangguk. "Iya, Nak. Ayah tunggu di luar." Kasih mengangguk. "Siap, boss!" seru Kasih sembari memberi hormat kepada ayahnya. Melihat tingkah anak satu-satunya itu, ayahnya terkekeh kecil. Lalu, Kasih masuk ke dalam rumah, sedang ayahnya menunggu di luar.

***

Meski dengan motor butut, tapi Kasih bahagia. Ya, katanya asalkan dengan ayahnya, dia pasti akan selalu bahagia.

Tak perlu memiliki kemewahan untuk mendapat kebahagiaan, jika dengan kesederhanaan dan kecukupan bisa mendapat kebahagiaan.

Sepanjang perjalanan, Kasih memeluk ayahnya erat dan sesekali ia menyenderkan kepalanya di punggung ayahnya. Hingga tiba di depan lampu merah. Ayahnya menghentikan laju motornya. "Lampu merah ya, Yah?" tanya Kasih. Ayahnya mengangguk. "Iya, Nak."

Kendaraan yang padat menunggu lampu berwarna hijau. Kasih menoleh ke arah mobil berwarna hitam di sampingnya. Ia menangkap sosok pengendara mobil itu seorang wanita. Lalu, datanglah seorang pengemis yang mengetuk-ngetuk kaca jendela mobil itu. Kasih masih terus memperhatikan. Lalu, dibukalah kaca jendela itu.

Kedua mata Kasih bulat sempurna melihat sosok wanita yang ada di dalam mobil itu.

"Mirip banget sama ...." Perkataannya belum selesai, namun lampu sudah menunjukkan warna hijau.


Ibu PenggantiWhere stories live. Discover now