Anak yang Baik

207 20 0
                                    

Di perjalanan pulang, Kasih berbincang banyak hal dengan Nayara. Bersama Nayara, Kasih selalu tertawa riang. Dengan begitu, ia bisa menepikan terlebih dahulu masalah-masalah yang tengah dialaminya.

"Nayara, makasih, ya." Kasih mengucapkan terima kasih kepada Nayara. Namun, tampak raut wajah Nayara yang kebingungan.

"Makasih buat apa, Kasih?" tanya Nayara kemudian.

"Makasih karena kamu udah mau jadi sahabat aku," jawab Kasih. Lalu, Nayara tersenyum.

"Dari tadi kamu bilang makasih mulu." Lalu, Nayara terkekeh.

Kasih hanya menampakkan gigi-giginya yang rata.

Nayara menunjukkan jari kelingkingnya. Kasih bingung. Entah apa yang tengah dilakukan Nayara.

"Kamu nggak mau jadi sahabat aku selamanya?" tanya Nayara sambil dengan bibir yang manyun.

"Mau dong, Nayara. Masa nggak mau punya sahabat sebaik kamu selamanya?" Kasih menyunggingkan senyum lebar.

"Kalo mau, terus mana jari kelingkingnya?" tanya Nayara sembari masih dengan bibir yang manyun.

Kasih baru paham sekarang. "Eh, iya. Ini," ucapnya dan menunjukkan jari kelingkingnya. Lalu, senyum Nayara pun merekah. Jari kelingkingnya menggaet jari kelingking Kasih.

"Eh, udah sampai." Sontak, Kasih tersadar. Mereka sudah sampai di depan gang menuju rumah Kasih. Karena wilayah di situ tidak bisa dimasuki mobil, Kasih berjalan kaki menuju rumahnya. Sudah biasa ia melakukan itu.

"Nayara, makasih banyak, ya. Maaf, aku jadi ngerepotin kamu." Kasih berpamitan hendak turun dari mobil.

Nayara tertawa kecil. "Dari tadi aku denger kamu bilang makasih mulu, Kasih. Kalo kamu butuh apa-apa, jangan sungkan, bilang sama aku. Aku pasti bakal bantu kamu." Nayara tersenyum. Kasih mengangguk dan tersenyum tipis. Nayara sudah banyak membantunya. Ia tak ingin merepotkan Nayara.

"Sampai ketemu di sekolah besok pagi, Nayara." Kasih melambaikan tangan. Nayara pun turut melambaikan tangan. Setelah itu, Kasih bergegas turun dari mobil.

Setelah Nayara melenggang, Kasih berjalan masuk ke gang menuju rumahnya. Seperti inilah keadaan gang menuju rumahnya. Jika setelah hujan, pasti banyak genangan air kotor di tanah. Kasih tak dapat menghindar. Sepatu satu-satunya yang ia punya harus terkotori oleh genangan air akibat hujan tadi malam.

Kasih tinggal di lingkungan yang kumuh. Banyak sekali anak-anak seusianya yang putus sekolah karena tidak punya biaya untuk melanjutkan sekolah. Kasih pantang untuk berhenti sekolah. Ia turut ikut membantu ayahnya untuk mencari uang. Awalnya memang ayahnya tak menyetujui Kasih untuk ikut mencari uang, namun Kasih tak gentar untuk terus meyakinkan bahwa ia bisa mencari uang tanpa mengganggu belajarnya. Pasrah, ayahnya menyetujui itu. Mau bagaimana lagi? Kemauan keras dari Kasih tak dapat ia tolak.

Beginilah keadaan rumah Kasih dan ayahnya. Rumah yang hampir sudah tak layak huni. Ada beberapa genting rumahnya yang bolong. Jika hujan turun, pasti bocor. Air hujan masuk menggenangi dalam rumahnya. Kasih dan ayahnya menyiasati untuk meletakkan ember sebagai wadah air hujan yang turun agar meminimalisir air hujan yang membanjiri dalam rumahnya. Kasih dan ayahnya tak pernah mengeluh akan kesulitan yang tengah mereka jalani. Mereka sangat mensyukuri apa yang telah menjadi takdir mereka. Mereka percaya bahwa hidup ini seperti roda yang berputat. Tak selamanya yang di atas akan terus berada di atas, pun tak selamanya yang berada di bawah akan terus berada di bawah.

"Assalamu'alaikum." Kasih mengucap salam sembari mengetuk pintu. Biasanya jam segini ayahnya sudah pulang.

Belum ada sahutan dari ayahnya. Lalu, ia memeriksa pintunya.

"Masih dikunci. Apa ayah belum pulang?" tanyanya.

Kasih duduk di kursi reot di depan rumahnya. Ia menunggu ayahnya yang pulang mengojek.

"Pasti bentar lagi ayah pulang," duga Kasih.

Benar. Tak lama kemudian, ayahnya pulang mengojek. Kasih menyambut ayahnya dengan senyum yang semringah dari bibirnya. Lalu, ia beranjak berdiri.

"Assalamu'alaikum." Ayahnya mengucapkan salam sembari melepaskan helm dari kepalanya.

"Wa'alaikumussalam." Kasih menjawab salam ayahnya. Ia menjulurkan tangan kanannya dan mencium tangan ayahnya.

"Udah lama nunggu ayah, Nak?" tanya ayahnya.

Dengan cepat Kasih menggeleng. "Nggak lama kok, Yah. Baru aja Kasih pulang, kok."

Ayahnya tersenyum, lalu membuka pintu rumah dengan kunci yang dibawanya. Tak ada duplikat kunci pintu rumah. Mau tidak mau, Kasih yang mengalah. Karena biasanya ayahnya pulang mengojek lebih awal darinya.

Ayahnya duduk di ruang tamu.

"Ayah mau Kasih buatkan minum?" tawar Kasih dan meletakkan tasnya di kursi ruang tamu.

"Boleh, Nak." Ayahnya tersenyum.

Kasih bergegas ke dapur membuatkan teh untuk ayahnya. Sepeninggal Kasih, ayahnya menatap fokus ke arah tas Kasih yang hampir sudah tak layak pakai. Banyak berlubang. Maklum, dari kelas 10 hingga kelas 12 ia hanya menggunakan tas itu. Ayahnya belum bisa membelikan tas baru untuknya.

Ayahnya menatap sedih tas Kasih. Sebagai ayah, ia merasa belum bisa membahagiakan anaknya. Bagaimana tidak? Penghasilannya dari mengojek setiap hari hanya cukup untuk makan sehari-hari. Untuk kebutuhan yang lain, ia belum bisa memenuhi.

"Ayah, ini tehnya." Kasih datang dan menyodorkan segelas teh hangat di atas meja untuk ayahnya.

Ayahnya tersadar. "Eh, iya, Nak." Lalu, Kasih duduk sembari memangku tasnya.

"Tas kamu udah rusak ya, Nak?" tanya ayahnya kemudian. Kasih menoleh ke tasnya dan menyunggingkan senyum tipis.

"Masih bisa dipakai, Ayah." Padahal di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia ingin sekali bisa memakai tas yang baru. Bukan karena ia malu, tapi karena memang tas itu sudah tidak layak pakai. Tapi, apalah daya. Kasih mengerti keadaan ekonomi ayahnya.

"Maaf ya, Nak. Ayah belum bisa membelikan kamu tas baru yang layak kamu pakai," ucap ayahnya meminta maaf.

"Ayah nggak usah minta maaf, ayah nggak salah. Kasih nggak papa masih pakai tas ini. Kasih nggak mau merepotkan ayah." Kasih mendekat dan memeluk ayahnya.

"Kamu ini emang anak yang baik, Nak. Ayah beruntung banget punya anak kayak kamu. Kamu mengerti keadaan ekonomi ayah. Kamu nggak nuntut ayah macam-macam," tutur ayahnya betapa beruntungnya ia memiliki anak yang baik seperti Kasih.

"Kasih cuma berharap ayah sehat terus. Ayah jaga kesehatan, ya. Kasih nggak mau ayah jatuh sakit." Kasih melingkarkan kedua tangannya di perut ayahnya.

Di usianya yang hampir 50 tahun, tubuh ayahnya semakin renta. Kasih hanya berharap ayahnya selalu diberikan kesehatan. Ia begitu berharap ketika dia sudah sukses nanti, ayahnya masih ada dan menatap bangga padanya.

"Ayah, Kasih mau jualan kue pukis dulu, ya." Kasih berpamitan kepada ayahnya untuk berjualan pukis. Seperti inilah rutinitas yang Kasih jalani. Sepulang sekolah, ia lanjut berjualan kue pukis buatannya sendiri.

"Apa kamu nggak capek, Nak?" tanya ayahnya.

Kasih menggeleng. "Nggak, Yah."

"Ayah mau ikut jualan, boleh?" tanya ayahnya.

"Jangan, Ayah. Kasih nggak mau ayah capek. Biar Kasih sendiri aja yang jualan." Kasih melarang ayahnya untuk ikut jualan kue pukis. Biar dia sendiri saja.

Ayahnya hanya tersenyum dan mengangguk pasrah.

Ibu PenggantiDonde viven las historias. Descúbrelo ahora