Perseteruan di Sekolah

67 7 2
                                    

Mobil itu melenggang dengan cepat, motor butut ayahnya Kasih tak dapat mengejarnya.

"Mirip banget, tapi ...." gumam Kasih dalam hati. "Nggak mungkin," lanjutnya. "Mungkin cuma pikiran aku doang. Kenapa aku bisa mikir kayak gitu?" Kasih menggeleng-gelengkan kepalanya.

Tiba di angkringan pinggir jalan. Sudah biasa buka di jam siang begini. Kasih dan ayahnya turun dari motor. Karena baru saja buka di jam siang begini, jadi belum terlalu ramai pembeli.

Ciri khas dari angkringan. Ya, nasi kucing. Porsinya memang sedikit dan begitu murah harganya. Tapi, selalu diburu oleh masyarakat.

"Nak, kamu mau makan apa?" tanya ayahnya kemudian. Kasih masih diam dan hanya memandangi lauk pauk yang berjejer di meja. Mungkin ia bingung memilih lauk pauk sebanyak itu.

"Kasih mau sate telur puyuh sama sate usus," ucap Kasih sembari mengambil satu tusuk sate telur puyuh dan satu tusuk sate usus. Ayahnya mengernyitkan dahi. "Kenapa lauknya cuma ambil dua?" tanya ayahnya.

"Emmm ... nggak papa, Yah." Kasih menampakkan gigi-giginya yang rata sambil meletakkan sate telur puyuh dan usus di atas nasi kucing yang sudah dibuka bungkusannya.

Ayahnya menggelengkan kepalanya. Tanpa sepengetahuan Kasih, ayahnya meletakkan ayam bacem dan mendoan tempe di atas nasi kucing milik Kasih. Sontak Kasih mendongak dan menoleh ke arah ayahnya. "Ayah ...." Ayahnya tersenyum. "Makan yang banyak ya, Nak." Lalu, Kasih pun ikut tersenyum. "Makasih, Ayah." Kemudian, ayah dan anak makan siang bersama di warung angkringan.

Biarpun sederhana, tak apa. Yang penting dengan orang yang kita sayangi dan cintai.

***

Malam hari, seperti biasa Kasih selalu belajar sebelum besok pagi materi yang dipelajarinya malam ini dijelaskan oleh guru di sekolah. Tak ayal, Kasih selalu bisa menjawab apa yang ditanyakan gurunya, karena Kasih sudah mempelajarinya di malam hari. Tidak seperti murid kebanyakan yang hanya belajar di saat ada ujian saja.

Tok ... Tok ... Tok

Kasih menoleh ke arah pintu. "Nak, ayah boleh masuk?" tanya ayahnya dari balik pintu kamarnya. "Boleh, Yah. Masuk aja," jawab Kasih yang mempersilakan ayahnya masuk ke dalam kamarnya.

"Kamu sedang belajar, Nak?" tanya ayahnya dan menutup pintu kamar Kasih. "Iya, Ayah." Kasih menyunggingkan senyum.

"Rajinnya anak ayah," puji ayahnya dan duduk di tepi ranjang, menemani Kasih yang sedang belajar. "Iya dong, Yah. Anak ayah satu-satunya ini harus sukses, biar nanti ayah bangga sama Kasih. Kalo Kasih udah sukses nanti, ayah nggak susah dan panas-panasan lagi cari uang, biar giliran Kasih yang cari uang dan bahagiain ayah," jelas Kasih panjang lebar dengan penuh harap.

"Aamiin. Ayah selalu mendoakan Kasih agar jadi anak yang sukses di kemudian hari. Semangat ya, Nak." Ayahnya mengelus lembut rambut panjang Kasih tanpa jilbab yang menutup kepalanya.

Kasih manggut-manggut. "Pasti, Ayah." Lalu, Kasih teringat sesuatu. "Oh iya, Yah. Kasih mau ikut olimpiade matematika minggu depan. Apa ayah izinin Kasih untuk ikut?" tanya Kasih. Ia baru ingat memberitahu ayahnya mengenai keinginannya untuk ikut olimpiade matematika minggu depan.

Ayahnya diam sejenak dan menatap Kasih lekat-lekat. "Berapa biaya pendaftarannya, Nak?" tanya ayahnya kemudian.

"Biaya pendaftarannya ... dua ratus ribu, Yah." Kasih tertunduk. Ia tahu, baginya dua ratus ribu rupiah itu tergolong mahal. Tapi, hadiah jika memenangkan olimpiade itu juga lumayan untuk biaya kuliah nanti.

Ibu PenggantiWhere stories live. Discover now