Kasih yang Malang

92 13 0
                                    

"Cabut! Aku punya rencana buat ngerjain si anak cupu!" lirih Laura.

Lalu, Mayra dan Gladys beranjak berdiri mengikuti Laura. Entah rencana jahat apa lagi yang akan dilakukan Laura dan gengnya untuk mengerjai Kasih.

"Pokoknya aku pasti bantu kamu biar bisa ikut olimpiade matematika itu, Kasih. Hadiahnya lumayan buat nabung biaya kuliah kamu nanti, Kasih." Nayara bersikeras mendukung agar Kasih mengikuti olimpiade matematika.

"Iya, Nayara. Aku harap juga gitu. Semoga aku bisa ikut olimpiade matematika itu," ucap Kasih. Ia pun sangat berharap bisa mengikuti olimpiade matematika nanti. Seperti apa yang dikatakan Nayara, jika Kasih bisa memenangkan olimpiade itu, maka dia bisa menabungkan uang hadiah itu untuk biaya kuliahnya nanti.

Tak lama kemudian, pesanan mereka datang. Mereka menyantap makan siang mereka di kantin.

***

Lima menit lagi, bel tanda masuk akan dibunyikan. Selesai makan siang, Kasih dan Nayara bergegas masuk ke dalam ruang kelas masing-masing.

Tampak semua siswa sudah masuk ke dalam ruang kelas, begitupun dengan Kasih. Ia segera duduk di kursinya. Laura dan gengnya tertawa melihat Kasih yang duduk di bangkunya. Entah apa yang tengah mereka tertawakan.

"Siang, anak-anak." Ibu guru masuk ke dalam ruang kelas mereka.

"Siang, Bu." Semua murid menyahut bersamaan.

Siang ini adalah mata pelajaran matematika. Mata pelajaran yang paling disukai Kasih. Bu Melati yang mengajar mata pelajaran matematika.

Bu Melati menjelaskan materi di depan kelas. Dan setelah itu, Bu Melati mempersilakan murid-muridnya untuk mengerjakan soal yang sudah ditulis di papan tulis.

"Ada yang bisa mengerjakan soal ini?" tanya Bu Melati sembari menunjuk ke papan tulis.

Diam. Tidak ada yang mengangkat tangan. Kasih masih fokus menyelesaikan soal itu di bukunya.

"Saya, Bu!" ucap Kasih dengan percaya diri sembari mengangkat tangan kanannya.

Semua teman-temannya menoleh ke arah Kasih, tak terkecuali Laura dan gengnya yang menatap sinis ke arah Kasih.

"Dasar, belagu!" umpat Laura dengan tatapan tak suka.

Kasih beranjak berdiri. Namun, ia merasa ada yang aneh dengan roknya. Ia merasa roknya seperti tertahan di kursinya.

"Ayo, Kasih." Bu Melati memerintahkan Kasih untuk segera maju ke depan. Kasih hanya diam dan mengedarkan pandangannya ke arah teman-temannya. Ia menjadi pusat perhatian semua orang yang ada di dalam ruang kelas.

"Ada apa, Kasih?" tanya Bu Melati yang tampak bingung dengan tingkah Kasih.

Laura dan gengnya terkekeh dengan sembunyi-sembunyi. Kasih menoleh ke arah roknya.

"Lem?" Kasih terkejut saat melihat lem menempel di rok dan kursinya.

HAHAHA

semua teman-temannya menertawakannya. Kasih menunduk malu. Ia tak bisa apa-apa. Ia hanya bisa terdiam, mendengarkan tertawaan teman-temannya.

"Sudah! Sudah!" tegas Bu Melati menghentikan semua muridnya untuk berhenti tertawa. Lalu, Bu Melati mendekati Kasih. Bu Melati menggeleng-gelengkan kepalanya melihat lem yang menempel di rok dan bangku Kasih.

"Siapa yang melakukan ini?" tanya Bu Melati. Dengan tatapan mata yang serius, Bu Melati mengedarkan pandangannya ke seluruh murid. Semua murid menunduk, tak terkecuali Laura dan gengnya. Mereka cari aman. Pura-pura tak tahu.

"Baik, ibu akan laporkan kejadian ini ke kepala sekolah!"

"Kalo tidak ada yang mau mengaku, nilai kalian akan terancam!" ancam Bu Melati. Kejadian ini sering berulangkali terjadi. Namun Bu Melati hanya diam. Dan kali ini, ancamannya tidak main-main. Setiap kali ada kejadian seperti ini, tidak ada yang mau mengaku.

"Jangan, Bu! Selama ini yang ngerjain Kasih itu Laura, Mayra, sama Gladys, Bu!" ucap salah satu murid perempuan berambut sebahu.
Sontak Laura, Mayra, dan Gladys menatap tajam ke arah gadis berambut sebahu itu.

Bu Melati menggeleng-gelengkan kepalanya, menatap serius ke arah Laura, Mayra, dan Gladys.

"Apa itu benar Laura, Mayra, Gladys?" tanya Bu Melati sembari berjalan mendekat ke arah bangku mereka bertiga. Laura, Mayra, dan Gladys hanya diam mematung. Mereka tak bisa berkata apa-apa.

"Sekarang juga kalian bertiga harus ikut ibu ke kantor." Bu Melati menatap mereka bertiga dengan serius. Namun, mereka hanya menunduk saja, tak berani menatap Bu Melati.

Akhirnya, mereka bertiga pun berdiri tanpa perlawanan. Bu Melati melenggang lebih dulu.
"Heh! Awas kamu!" ancam Laura kepada gadis berambut sebahu itu.

"Huuu!!!" Sontak Laura mendapat sorakan dari semua teman-temannya.

Mayra dan Gladys mengangkat tangan mereka sembari mengepal, mengisyaratkan akan memukul mereka.

"Dan kamu! Aku akan buat hidup kamu semakin menderita!" ancam Kasih seraya menunjuk ke arah Kasih. Kasih hanya diam menunduk.

"Cabut!!!" titah Laura kepada Mayra dan Gladys. Lalu, mereka bertiga melenggang dari ruang kelas dan berjalan menuju ke ruang kantor.

Sepeninggal Laura dan gengnya, Kasih menatap ke roknya dengan tatapan yang sendu.

"Kalo kayak gini, mungkin aja roknya bisa robek pas aku berdiri. Kalo robek, besok aku pakai apa?" batin Kasih yang tengah bersedih. Bagaimana tidak sedih? Rok itu satu-satunya yang Kasih punya. Sungguh malang memang nasibnya.

***

Semua murid sudah keluar dari ruang kelas. Bu Melati menunggu Kasih yang masih duduk di kursi.

"Kasih, jangan lupa besok ganti roknya, ya." Bu Melati mengingatkan Kasih untuk mengganti roknya besok. Karena rok yang dikenakannya hari ini, mungkin saja robek ketika nanti dia bangun dari tempat duduknya.

Kasih hanya mengangguk pelan. Dia tak ingin Bu Melati tahu bahwa ia hanya memiliki satu rok saja.

"Kasih tidak pulang?" tanya Bu Melati sembari membereskan bukunya.

"Emmm ... Kasih nunggu temen, Bu." Kasih berbohong.

"Yasudah, ibu duluan." Bu Melati melenggang keluar dari ruang kelas.

Sepeninggal Bu Melati, Kasih menumpahkan segala air matanya yang sedari tadi ia bendung. Dia manusia, dia berperasaan. Hatinya sangat terluka, seringkali gadis pendiam itu mendapat perlakuan tak baik dari Laura dan gengnya. Apakah orang yang tak berpunya sehina itu? Apakah orang yang berpunya dengan bebas bisa menginjak-injak orang yang tak berpunya? Di mana sisi kemanusiaannya?

Kasih menangis sesenggukan. "Ya Allah ... cobaan apa lagi ini? Aku nggak punya uang buat beli rok baru." Kasih mengusap air matanya yang jatuh. Sedih hatinya.

Kasih membereskan buku-bukunya dan memasukkannya ke dalam tas. Lalu, ia mencoba berdiri.

Srekkk

Dan benar saja, rok yang Kasih kenakan itu robek. Seketika Kasih menunduk lesu dan kakinya lemas. Akibat robekan itu, memperlihatkan celana pendek di balik rok robek itu.

"Gimana aku bisa pulang dengan rok yang robek begini?" Tampak Kasih yang semakin frustrasi. Ia bingung. Bagaimana ia bisa pulang dengan kondisi rok yang robek begitu?

Lalu, ia menoleh ke arah tasnya. Disambarlah tasnya itu. Dan muncullah ide di dalam pikurannya. Ia memanjangkan kedua pengait tasnya.

"Mungkin kalo begini bisa nutupin robekan roknya," ucap Kasih kemudian setelah ia selesai memanjangkan kedua pengait tasnya.

"Setidaknya bisa nutupin robekannya," lanjut Kasih setelah ia meletakkan tas dipunggungnya hingga menutupi robekan di roknya.

Sedikit lega. Ia bisa pulang sekarang juga.


Ibu PenggantiDonde viven las historias. Descúbrelo ahora