Rasa Penasaran

79 10 2
                                    

Satu hal yang kurindukan di dunia ini setelah Allah dan Rasulullah, yaitu ibu.

~ KASIH ~

Malam yang sunyi. Kasih menatap sendu foto ibunya sembari duduk di kursi reot di depan rumah. Semilir angin yang berembus membuatnya menggigil kedinginan tanpa pelukan hangat seorang ibu. Air matanya berlinang menghangatkan kedua pipinya.

"Ibu ... Kasih kangen banget sama ibu." Isak tangis Kasih menatap foto ibunya yang sudah lumayan kusut.

Lalu, ia mendekap selembar foto ibunya sembari menatap pilu langit malam yang diterangi cahaya rembulan dan gemintang. Malam ini, Kasih masih terjaga. Ia melangitkan doa, meski dengan doa tak akan bisa mengembalikan ibunya untuk kembali hidup, Namun, setidaknya dengan doa bisa menitipkan salam rindu untuk ibunya.

"Semoga ibu tenang di sana, ya. Kasih sayang banget sama ibu," ucap Kasih sembari mengulum senyum ke atas langit.

"Nak?" panggil sosok pria paruh baya. Sontak Kasih terperanjat. Ia menoleh ke asal suara.

"Ayah," sahut Kasih. Ayahnya mengulum senyum dan duduk di samping Kasih. Kasih kembali menatap rembulan dan gemintang di langit malam hingga membuat ayahnya turut menatap langit malam.

"Kenapa belum tidur?" tanya ayahnya tanpa menoleh ke arah Kasih. Ia masih tetap fokus menatap langit malam.

"Kasih kangen banget sama ibu, Yah." Kasih mengusap air matanya dan sorot matanya tertuju pada langit malam.

"Udah berdoa buat ibu, Nak?" tanya ayahnya. Kasih menoleh dan mengangguk. "Udah, Yah. Kasih nggak pernah alpa." Kasih menyandarkan kepalanya di bahu ayahnya.

"Terus, ayah kenapa belum tidur?" Kasih balik bertanya kepada ayahnya. Tersenyumlah ayahnya mendengar pertanyaan Kasih. "Karena ayah tau Kasih belum tidur." Kasih mendongak dan menepikan kepalanya dari bahu ayahnya. "Lho, bukannya ayah udah tidur?" Kasih terkejut.

Ayahnya menggeleng. "Belum, Nak." Kasih diam mematung. Ia berpikir ayahnya memang pura-pura tidur. Tapi, kenapa? Kenapa harus berpura-pura?

"Ayah tau, Nak. Setiap malam sebelum tidur, kamu selalu duduk di luar dan menatap langit malam." Ayahnya menoleh ke arah Kasih, sedang Kasih mengernyitkan dahi keheranan.

"Jadi, setiap malam ayah pura-pura tidur sebelum Kasih udah benar-benar masuk ke dalam rumah dan tidur?" tanya Kasih. Ayahnya hanya menganggapi dengan anggukan.

"Besok sekolah, ayo tidur." Ayahnya menepuk bahunya pelan dan melenggang masuk ke dalam.

Kasih tersenyum dan tak lama kemudian dia pun masuk ke dalam untuk tidur.

***

Kasih menatap dirinya di depan cermin sembari ia membalikkan tubuhnya dengan kepala yang menoleh ke belakang dan kedua matanya menyorot pada cermin.

"Roknya nggak layak pakai," keluh Kasih ketika menatap roknya yang robek akibat lem karena perbuatan jahat Laura dan gengnya.

"Nggak papa, aku harus berangkat sekolah sekarang." Kasih menoleh ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul setengah tujuh. Ia menyambar tasnya dengan pengikat tas yang masih menjulur hingga ke bawah menutupi bagian roknya yang robek. Ayahnya sudah berangkat mengojek ketika pagi buta dan seperti biasa, Kasih berangkat ke sekolah seorang diri dengan menaiki sebuah angkutan umum. Gadis manis itu memang disiplin, tak pernah datang terlambat ke sekolah. Ia hanya menatap keluar jendela. Kedua netranya menangkap seorang ibu yang tengah mengantarkan anaknya ke sekolah. Tatapannya kembali sendu, hatinya kembali teriris. "Aku nggak bisa kayak mereka," gumam Kasih dalam hati. "Coba aja ibu masih hidup," lanjutnya. Kasih memalingkan wajahnya. Ia tak mau hatinya semakin diremas-remas melihat kasih sayang seorang ibu kepada anaknya.

Tiba di depan gerbang sekolah. Kasih turun dari angkot dan berjalan hendak menuju gerbang sekolah.

Tittt ...
Suara klakson mobil memekakkan telinganya. Ia menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah mobil itu.

"Heh, anak cupu! Minggir!" bentak Laura sembari menyelundupkan kepalanya keluar dari jendela mobilnya.

Kasih tak dapat melawan perintah Laura, lalu ia menepikan tubuhnya untuk mempersilakan Laura dan gengnya masuk terlebih dahulu. Semua murid yang melihat Laura dan gengnya sontak bergidik ngeri. Mereka ketakutan.

Setelah Laura dan gengnya masuk, giliran Kasih yang masuk. Kasih bergegas masuk ke dalam kelas dengan berlari sebelum Laura dan gengnya masuk ke dalam kelas. Kasih duduk manis di bangkunya. Tak lama kemudian, muncullah Laura dan gengnya masuk ke dalam kelas. Semua murid hanya menunduk, terkecuali Kasih yang tengah merogoh tasnya dan meletakkan semua alat tulisnya di atas meja.

Brakkk!

Suara meja digebrak membuat semua orang terperanjat, tak terkecuali dengan Kasih. Rupanya Laura menggebrak meja milik Kasih. Kasih yang tak tahu apapun, sontak mempertanyakannya. "Ada apa, Laura?" tanya Kasih dengan tatapan bingung.

Laura terkekeh. "Kamu masih tanya ada apa?" Laura menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Mayra dan Gladys mengikuti apa yang dilakukan Laura.

"Aku nggak mau berurusan lagi sama kalian bertiga, tolong jangan ganggu aku." Kali ini, Kasih tak diam. Dia menegaskan apa yang selalu ia pendam di dalam batinnya.

"Heh, jangan mimpi anak cupu! Selama kamu masih sekolah di sini, kamu nggak akan bisa lepas dari kami! Aku mau buat kamu kayak Bu Melati!" bisik Laura di telinga Kasih yang tertutup jilbab.

Mendengar ucapan Laura, Kasih mengernyitkan dahi. "Apa maksud kamu, Laura?" tanya Kasih tak paham ketika Laura telah menjauhkan wajahnya dari telinga Kasih.

"Selamat pagi," sapa guru yang memasuki ruang kelas mereka. Laura dan gengnya segera duduk di bangku mereka masing-masing.

"Anak-anak, perkenalkan nama saya Ibu Rosa. Saya guru baru mata pelajaran matematika, menggantikan Ibu Melati yang sudah dikeluarkan dari sini." Ibu Rosa - guru baru matematika yang memperkenalkan diri.

Kasih terkejut. "Bu Melati dikeluarin dari sekolah?" batinnya.

Kegiatan belajar mengajar pun dimulai. Dengan rasa penasaran yang setengah mati mengenai alasan dikeluarkannya Ibu Melati dari sekolah, Kasih tak bisa fokus sepenuhnya menangkap materi hari ini. Pikirannya masih dipenuhi rasa penasarannya.

"Kenapa Bu Melati dikeluarin dari sekolah? Sejauh ini Bu Melati sangat baik ketika ngajar. Bu Melati nggak pernah telat masuk kelas. Bu Melati juga telaten ketika jelasin materi. Atau jangan-jangan ...." Kasih menggantungkan ucapannya. Entah apa yang tengah ia pikirkan.

***

Tettt ...
Bel tanda pulang berbunyi. Kasih bergegas membereskan semua alat tulisnya dan memasukkannya ke dalam tas. Setelah guru baru itu melenggang keluar, semua murid bergegas keluar, pun dengan Kasih yang berlari keluar dari kelas.

"Aku harus ke rumah Bu Melati. Aku harus tau alasan Bu Melati dikeluarin dari sekolah," ucap Kasih sambil berlari dengan napas terengah-engah.

Seperti biasa, ada angkot yang setia menunggu murid-murid pulang sekolah. Kasih bergegas masuk ke dalam. Untungnya setelah Kasih masuk ke dalam angkot, angkot sudah penuh dan segera melaju mengantarkan murid-murid untuk pulang ke rumah masing-masing.

Selama di perjalanan, pikiran Kasih hanya berfokus pada pertanyaan "Kenapa Bu Melati dikeluarin dari sekolah?" Pertanyaan itu terus memenuhi pikirannya.

"Eh, stop ... stop, Pak." Lamunannya membuatnya lupa jika ia harus berhenti di depan gang menuju rumah Bu Melati.

Sssttt ...
Sopir menghentikan angkotnya mendadak hingga membuat semua penumpang terperanjat, tak terkecuali dengan Kasih.

"M-maaf, semuanya." Kasih meminta maaf dan segera turun dari angkot. Ia tak peduli mendapati penumpang lain yang menggerutu padanya.

Ia setengah berlari memasuki gang menuju rumah Bu Melati. Seperti jalan menuju rumahnya, rumah Bu Melati pun sama. Dia tinggal di lingkungan yang kumuh. Meski penghasilannya sudah bisa mencukupi kebutuhan pokoknya, namun tak dapat dipungkiri bahwa ia juga mengalokasikan sebagian penghasilannya untuk berobat sang ibu yang tengah sakit stroke.

Tiba di depan rumah Bu Melati, napas Kasih terengah-engah akibat setengah berlari.
Brakkk!
Suara benda terbanting dari dalam rumah Bu Melati.

Ibu PenggantiWhere stories live. Discover now