"Eh Bang!" pekikku panik tatkala Sean tiba-tiba bangkit. Cergas aku merangkul pundaknya, membantu ia berdiri.

Posisi Sean berhadapan dengan Dokter, saat berdiri seperti ini Sean tampak lebih tinggi ketimbang sang Dokter yang hanya sebatas dada Sean.

Sean tersenyum tipis. "Dasar cebol." Sean berujar.

Kulihat kedua alis Dokter menukik tajam, sirat wajahnya mendadak berubah disertai sorot mata sinis kala menatap Sean. Barangkali ia tak terima atas hinaan Sean barusan yang secara gamblang mengatakan bahwa dirinya pendek, walau kenyataannya ia memang lebih pendek dari Sean.

Tangan kanan Sean terangkat dan bertengger di pundak kiri Dokter. "Dengar, Dok. Leta adek saya."

"Saya tau, terus?"

Sean menatap tajam. Tatapannya seolah laser yang ingin menembus kepala si Dokter. "Jangan sapa Leta lagi dan jangan pernah ajak Leta dinner. Saya nggak suka."

"Apa masalahnya? Saya cuma nyapa dan ngajak Leta makan."

Sean menurunkan tangan dari bahu Dokter. "Masalahnya saya nggak suka!" ketus Sean.

"Pergi, Dok, urusan Anda di sini sudah selesai. Anda mengganggu istirahat pasien," usir Sean.

Dokter mendengus tak suka, kendati demikian ia tetap berbalik badan dan pergi meninggalkan ruangan tanpa kata pamit.

Sean duduk di pinggir kasur, ia tatap tajam pintu di mana tempat Dokter itu baru saja keluar.

"Lo kenapa jadi emosi gitu?" tanyaku.

Sean melirikku sinis. "Mau dinner bareng," ujar Sean.

Mengernyit bingung manakala aku tak dapat memahami maksud perkataan Sean barusan.

"Ayo rebahan lagi," suruhku.

"Mau dinner bareng."

"Iya nanti, kalau lo udah pulang dari sini," balasku.

"Mau dinner bareng."

"Apaan sih diulang-ulang terus?" cetusku tak paham mengapa ia mengulang perkataannya. Namun di detik selanjutnya aku tersenyum asimetris manakala menyadari sesuatu.

"Um ... lo cemburu ya?"

"Mau dinner bareng." Sean berujang lagi, seraya merebahkan tubuhnya ke kasur, menarik selimut sebatas dada kemudian berbalik memunggungiku.

"Ngambek nih ceritanya?" ledekku sambil terkekeh geli.

Aku menilik ke sudut ruangan menangkap kehadiran Auri baru keluar dari toilet. "Lama banget lo di toilet, ngapain aja?"

Auri menunjukkan cengirannya. "Sakit perut gue."

"Auri, duduk sini." Sean menepuk space kosong di atas kasurnya.

Auri mendekat dan duduk di sana. "Kenapa, Kak?" tanya Auri lembut.

"Siniin tangan lo," pinta Sean sembari mengulurkan tangannya kepada Auri.

Tanpa Ragu Auri menaruh satu tangannya ditelapak tangan Sean yang terbuka. Sean menggenggam tangan Auri lantas membawanya ke dalam selimut.

"Kak Sean aneh, kenapa tiba-tiba genggam tangan aku?"

"Tangan gue dingin, butuh tangan lo biar hangat."

"Tapi tangan Kak Sean nggak dingin."

"Udah diam," tekan Sean.

Aku menatap dalam diam interaksi keduanya, kurasa Sean ingin balas dendam dan membuatku cemburu. Kendati demikian, aku tidak merasa terpengaruh dengan apa yang ia lakukan lantaran aku tahu ia menggenggam tangan Auri karena sengaja bukan mutlak kemauannya.

Kulihat Auri membentuk sabit di bibirnya, terkesan manis dan sangat tulus. Ditambah sorot teduhnya sampai aku merangkum bahwa ia mencintai Sean amat tulus.

Kupalingkan wajah ke arah lain, berbalik badan diam-diam dan membuka pintu secara perlahan agar mereka tidak menyadari ketiadaanku.

Aku putuskan pergi ke minimarket yang berada tepat di depan gedung rumah sakit untuk membeli beberapa makanan.

Mendorong pintu kaca, kakiku melangkah memasuki minimarket. Aku meraih satu keranjang belanja dan bergegas menghampiri rak-rak tempat barang yang ingin kubeli diletakkan.

Situasi minimarket yang tidak ramai membuatku lebih leluasa memilih barang.

Tungkaiku menapaki setiap sisi minimarket ini, sengaja untuk melihat-lihat barangkali ada sesuatu yang menarik perhatian maka akan aku belikan. Dalam keranjang belanjaku hampir terisi penuh oleh camilan, aku membeli banyak karena Auri menginap malam ini.

Manikku menangkap sebuah lemari pendingin yang dipenuhi macam-macam merk minuman, semuanya tersusun rapi dengan harga-harga yang terletak di pinggir lemari pendingin tersebut. Tanpa menunggu lama, aku langsung mengambil satu botol minuman yang terletak di tengah-tengah tanpa melihat harganya terlebih dahulu.

Namun baru saja jemariku meraih minuman tersebut, ponsel di dalam saku celanaku berdering, menandakan ada panggilan masuk. Buru-buru aku meletakkan apa yang sudah berada pada genggamanku ke dalam keranjang belanja, kemudian segera meraih ponselku dari dalam saku.

Manikku membaca nama pemanggil yang tertera di layar dua dimensi. Karin? Untuk apa ia meneleponku malam-malam begini? Kurasa ada hal penting yang ingin ia bicarakan.

"Halo, Leta. Kamu bisa ke sini sekarang nggak? Please, ini darurat. Aku butuh bantuan kamu." Suara merdu menyambar membran timpaniku dengan menggebu-gebu. Ini tidak seperti Karin yang kukenal sebagai sosok gadis yang bicara selalu santai. Hal apa yang membuatnya menjadi sepanik ini?

"Rin, lo kenapa?" tanyaku sembari mengernyitkan dahi.

Sayup-sayup terdengar napasnya yang sedikit berantakan, membuatku semakin dilanda kebingungan. "Please, kamu ke sini sekarang. Aku sharelock, cepat Leta!" jawabnya.

Panggilan dimatikan oleh Karin dususul pesan dari Karin masuk, gadis itu mengirim titik lokasi agar aku pergi ke sana

A or A [New Version]Where stories live. Discover now