SEMBILAN BELAS- Mimpi Lain

1.9K 354 1
                                    

19

Malang

Raka menunduk menatap pada wajah adiknya yang tertidur. Jantungnya berdegub kencang kala mengingat mimpi yang menghampirinya semalam. Mahkota, perkamen yang kusut, darah dan paseban yang dipenuhi aura gelap menyesakkan dada. Entah apa yang dilihatnya itu mimpi buruk atau justru mimpi yang menyembunyikan sebuah arti. Setiap kali bermimpi buruk, Raka akan segera menunaikan ibadah sholat dan berdoa agar mimpi itu bisa menghilang dalam sekejap mata. Seperti ribuan mimpinya yang menghilang bagai ditelan angin.

Namun mimpi itu masih terekam dengan amat sangat jelas.

"Mas Raka!" panggilan itu mengalihkan lamunannya. Menatap pada Widya yang berdiri di ambang pintu dengan pakaian kasualnya. "Mas Respati di luar."

Pemuda itu mengangguk dan segera beranjak. Ada banyak hal yang membuatnya penasaran dan Raka mulai goyah. Akal sehatnya mulai menolak jika semua teka-teki fantasi ini hanya sekedar bualan yang diciptakan.

Dihadapnya pemuda yang dua hari lalu bersikukuh untuk menemui Kinanti namun berakhir tanpa jawaban apapun. Pemuda yang punya banyak teka-teki dalam dirinya yang menyeret Raka pada rasa penasaran yang dalam dan tak berujung.

"Banyak hal yang perlu aku ketahui sebelum mempercayai semuanya," ujar Raka.

"Sejauh mana?" tanya Respati.

"Semuanya," Jawab Raka dengan sangat yakin. Siap ataupun tidak, Raka harus menemukan jalan keluarnya. Jika hanya Respati satu-satunya orang yang bisa membawa Kinanti kembali, maka Raka tidak mungkin menghalaunya. Raka juga harus membantu mereka keluar dalam takdir rumit ini. Karena Raka sudah bertekad demi adiknya.

Begitupula Respati yang benar-benar ingin menemui Kinanti meskipun ia tidak akan bisa tanpa seizin Raka.

"Baiklah."

----

Tumapel

Takdir tidak bisa dihindari, anakku. Sang Hyang Adi Buddha telah menggariskan hidupmu. Maka hiduplah dalam kebaikan, niscaya kau akan terselamatkan.

Kinanti terdiam merasakan panas di sekujur tubuhnya. Tangannya gemetar hebat dan nafasnya yang tercekat. Sekalipun semenjak ia hadir di dunia ini, sekalipun tidak ada mimpi yang menghampiri. Namun hari ini, ia memimpikan seorang pertapa suci dan kalimatnya yang tertuju untuk Kinanti.

Gadis itu berusaha mengatur nafasnya dan kembali pada kesadaran penuh.

"Ndoro, sudah saatnya untuk bersiap." Ucap Asmi dari balik pintu kayu kamarnya. Abdi itu mengetuk pintu ketika tidak mendapati jawaban dari Kinanti. Dibukanya pintu itu dan bersimpuh di depan kamar. "Hari akan semakin siang ndoro."

"Bersiap? kemana?"

Asmi mendongak menatap Kinanti yang terlihat seperti tengah linglung. "Ndoro lupa? hari ini kita akan pindah ke Kutaraja."

Kinanti mengernyit bingung. Tunggu dulu, ia seakan melupakan pesan romo-nya semalam. Mereka akan pindah, tinggal di lingkungan yang tidak jauh dari keraton dan Kinanti yang akan dipersiapkan untuk menikah. Ah, sial. Mimpi itu mengacaukan ingatannya walau hanya sementara, hingga ia lupa tentang hidup baru yang akan dimulai esok.

"Ah aku lupa," ucapnya lesu. "Tolong siapkan air untukku mandi."

"Sendiko dawuh, ndoro."

Bangunlah Kinanti, hari sudah dimulai.

----

Dua pedati yang membawa mereka berhenti tepat pada sebuah rumah yang tidak lebih dari rumah sebelumnya. Gadis itu mengeratkan selendangnya dan menatap suasana Kutaraja yang lebih ramai dengan lebih banyak waisya maupun bangsawan.

Kain rami yang menutupi pedati dibuka salah satu sisinya dan menampilkan sosok pria bangsawan menyambut Kinanti. Ada aura berbeda dari pria itu yang membuat Kinanti terdiam sesaat. Sebelum sebuah dehaman dari pria itu membuyarkan lamunannya. Gadis itu membalas senyum sang Raden dan bergerak menuruni pedati.

Kinanti melangkah perlahan dan hati-hati, namun gelang yang dikenakannya tersangkut pada sebuah kayu dan putus dalam sekejap. Semua orang terkejut begitupun Kinanti.

Raden Panji segera mendekati Kinanti dan mengecek pergelangan tangan kiri gadis itu. Ada bekas memerah karena gelang itu terbuat dari rantai besi dan sisi lainnya sedikit berdarah karena goresan rantai yang kencang. Walau tidak terlalu dalam, namun luka itu akan meninggalkan bekas.

"Saya baik-baik saja Raden."

"Wajahmu berkata sebaliknya Kinanti" gadis itu meringis mendengarnya. Nada posesif itu membuatnya merinding seketika.

Mpu Paran mendekati putrinya dan melihat seberapa parah lukanya. "Buang gelangnya dan segera cari tabib desa!" titah pria tua itu.

Kinanti hanya kembali meringis pelan. Bukan karena perih di lukanya, tetapi baru kakinya menapak tanah sudah merepotkan banyak orang karena kecerobohannya. Gadis itu tidak tahu harus berbuat apa selain mengikuti perintah romo-nya agar berdiam diri dan menunggu tabib mendatangi mereka.

"Lukanya hampir menekan nadimu," ucap Raden Panji. "Jangan katakan kau baik-baik saja Kinanti, hanya luka kecil tapi bisa membunuhmu."

"Saya tidak tahu itu " gadis itu menanggapi dengan kikuk. Entahlah, hari ini terlalu linglung dan lebih banyak melakukan tindakan ceroboh.

"Tapi, ada urusan apa Raden kemari?" tanya Mpu Paran.

Raden Panji menatap Mpu Paran. "Ada panggilan kerajaan untuk guru dan Kin-- tidak hanya guru saja. Dia bisa ke keraton kapanpun," jelasnya.

"Sekarang?" tanya Kinanti dan dua pria itu mengangguk bersamaan.

Kinanti yang penasaran tidak berhak untuk menanyakan alasannya. Ada perasaan menjanggal saat Mpu Paran dan Raden Panji meninggalkan kediaman mereka menuju keraton. Gadis itu menatap luka di pergelangan tangan kirinya yang belum diobati.

Tersenyum miris. Bagaimana bisa hanya sebuah gelang hampir membunuhnya? Ia tahu benar jika luka itu hampir menggores nadinya, namun sepertinya Dewa masih memberinya kesempatan untuk hidup. Siapa yang menyangka kebetulan atau kemalangan bisa datang bahkan dari kemungkinan yang tidak pernah terduga. Seperti gelang itu.

 Seperti gelang itu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
KINANTIWhere stories live. Discover now