TIGA PULUH DELAPAN- Lupakan

1.5K 252 1
                                    

38

Malam itu Raka duduk di ruang tamu rumahnya, berteman secangkir kopi hitam dan suara gemericik hujan. Matanya terfokus pada rangkaian skripsi di laptopnya sembari sesekali melirik jam. Entah kenapa perasaannya tidak nyaman memikirkan Kinanti. Sesekali pemuda itu melirik ke arah luar dengan pintu yang terbuka lebar.

Ketika suara mobil yang begitu ia kenal berhenti di depan pekarangan rumah. Raka beranjak dan melihat adiknya menerobos hujan begitu saja tanpa peduli jika bajunya bisa saja basah atau ia akan demam. Langkahnya terburu-buru memasuki pekarangan rumah dengan mata sembab. Matanya menatap pada Raka seolah berkata bahwa ia sedang tidak baik-baik saja.

Tanpa mengatakan apapun gadis itu langsung menghambur pada pelukan Raka membiarkan kaos milik kakaknya ikut basah. Begitupula Raka yang mengabaikan dingin perlahan menyentuh kulitnya, pemuda itu mendekap Kinanti erat. Berusaha menenangkan adiknya yang menangis sesenggukan.

Tatapannya beralih dari Kinanti kini tertuju pada Respati yang terdiam di mobilnya. Jika sebelumnya Kinanti berangkat dengan senyum dan semangat, kemudian sekarang ia kembali dengan air mata. Maka, Respati pastilah penyebab adiknya menangis.

"Kita masuk dulu," ajak Raka, membawa Kinanti memasuki rumah.

Adiknya sedari awal sedang tidak baik-baik saja. Hidupnya selalu dipenuhi pemikiran yang positif dan tidak pernah mengeluh akan apapun. Menangis keras adalah bukti jika dirinya terluka terlalu dalam.

Kinanti menahan ujung kaos Raka dengan tatapan mata kosong.

"Siapa dia sebenarnya?" pertanyaan itu membungkam Raka. Matanya tidak berani untuk menatap manik milik adiknya. Dengan lembut Raka melepas tangan Kinanti dari kaosnya. Mengusap pelan puncak kepala gadis itu dan kembali mendekapnya tanpa menjawab apapun. Tiba-tiba saja tangannya gemetar, ia kepalkan tangan itu karena takut Kinanti menyadarinya. Takut jika adiknya itu tahu jikan bukan hanya Respati saja sumber luka gadis itu, tetapi dirinya di masa lalu juga penoreh luka gadis itu.

"Kamu ganti baju terus tidur sana biar besok ndak demam."

Setelahnya Raka meninggalkan kamar Kinanti tanpa menjawab pertanyaan Kinanti. Menutup pintu kayu dan masih diam disana mendengar bagaimana isakan itu terdengar dari dalam kamar. Kinanti menangis, sangat pilu untuk didengar. Seperti malam itu, saat Kinanti memohon dengan isak yang begitu menyayat hatinya. Tanpa sadar Raka memejamkan mata enggan mengingat memori itu. Enggan menerima fakta jika pria itu adalah dirinya di masa lalu.

Raka beranjak, masih mendapati mobil Respati diluar. Tanpa peduli bagaimana rintik hujan malam itu membasahi pakaiannya. Tangannya mengepal kuat hingga buku jarinya memutih. Raut wajahnya mengeras dan memerah. Dipenuhi oleh amarah.

Dibukanya secara paksa pintu kemudi yang tidak terkunci dan menarik kerah kaos polo Respati. Pasrah pemuda itu kala tubuhnya ditarik keluar dan basah oleh hujan. Kini mereka saling menghadap. De javu bagi Respati membuatnya berdecih.

Mata elang itu tidak berhenti menatapnya tajam dan kemudian sebuah bogeman mentah melayang tepat mengenai pipi kiri Respati membuat pemuda itu tersungkur ke aspal jalan. Respati merasakan anyir di mulutnya, mengusapnya pelan namun tidak berniat untuk beranjak. Membiarkan Raka menghantamnya dengan amarah. Seperti telah ia pendam dengan sangat lama.

Sadar jika memang pemuda didepannya ini bukan hanya Raka tetapi juga reinkarnasi dari Mahisa. Tanpa sadar Respati tertawa, membuat Raka menghentikan tangannya di udara saat hendak menghajar Respati kembali.

"Bukankah kakanda butuh keris untuk memuaskan amarahmu?" sindirnya. Jelas itu tidak akan berlaku karena Raka hanyalah Raka. Kepribadiannya tidak berhubungan sama sekali dengan Mahisa. Sekarang yang dihadapinya adalah sosok kakak yang sangat menjaga dan menyayangi adiknya. Seorang kakak yang tidak akan membiarkan laki-laki manapun menyakiti adik satu-satunya. Siapa yang mau menyakitinya? Respati tidak tahu jika senjanya akan berubah membuka luka lama.

KINANTIWhere stories live. Discover now