TIGA PULUH LIMA- Awal Semuanya

1.8K 296 8
                                    

35

Semesta akan selalu memiliki rahasianya, rencananya yang entah tersusun seperti apa. Begitupula dengan sang pencipta, selalu menyiapkan cobaan dan takdir yang tidak terkira. Siapa yang akan menyangka tentang rahasia-rahasia yang perlahan terbongkar dan semakin menciptakan api-api luka terus berkobar.

----

Tumapel.

Hari masih belum terlalu sore untuk mengakhiri perburuannya. Seekor babi hutan dan seekor kijang jantan cukup untuk ditujukan sebagai hasil perburuan. Dititahkan pada prajurit untuk membawa hasil buruan tersebut dan dibagikan pada rakyat Tumapel. Sang raden mencabut anak panahnya yang meleset menancap pada sebuah batang kayu. Diusap panah itu karena getah kayunya akan membuat ujung tajam panahnya berkarat.

"Aku akan mencari telaga untuk membersihkan anak panah, kalian pergilah." Sang raden meminta orang-orang yang mengikutinya kembali sebelum hari semakin menggelap.

"Bolehkah aku menemani kakanda?" tanya salah satu adiknya.

"Tidak, pulanglah adimas. Aku baik-baik saja sendirian."

Sang adik tidak beranjak dari tempatnya sampai kakandanya kembali dengan panah-panah yang telah terkumpul. "Kenapa?"

"Bukankah seharusnya aku yang bertanya? Kakanda kenapa?"

Mahisa tersenyum tipis, merasa basa-basi itu tidak diperlukan.

"Apa karena titah ayahanda untuk siapa yang pantas menduduki Panjalu?" tebakannya yang tepat sasaran membuat Mahisa berhenti mengelus bulu kudanya. Ya, itu salah satunya. "Kakanda sendiri tahu aku tidak tertarik akan tahta."

"Bela dirimu dihadapan maharaja nanti, Panji." Kalimatnya terjeda saat ia mulai menaiki kudanya. "Setelahnya kita bisa lihat apa beliau akan mendengar masa depan dangkalmu itu."

Alasan Mahisa marah bukanlah tahta yang bisa direbut kapanpun oleh adiknya. Siapapun tahu siapa yang akan diunggulkan diantara mereka.

Akan selalu ada Panji Saprang, putra kebanggaan permaisuri. Pangeran berhati lembut yang mencintai rakyat Tumapel tanpa kata, tetapi melalui tindakan. Tak perlu memaksakan kehendak pemimpin negeri ini dengan mencuri hati rakyat demi menentukan seorang penerus yang berhak atas tanah Panjalu. Tak perlu bersusah payah bergerak selayaknya pahlawan baik hati untuk rakyat, mereka telah memiliki pahlawannya sendiri. Panji Saprang tulus melakukannya, serta ketulusan itu tidak bisa diganti dengan tahta.

Raden yang selalu hidup berdampingan dengan rakyat, pahlawan mereka, dan putra maharaja yang diakui hampir seluruh rakyat kerajaannya.

Setiap putra maharaja, baik dari permaisuri maupun selir, ketujuh putranya mendapatkan sebuah tanah dan berhak untuk menjadi seorang rakai disana jika di tanah itu terdapat desa. Atau mengolah tanah itu dengan ladang jagung dan padi untuk hasilnya disimpan di lumbung istana. Yang Panji Saprang lakukan adalah memilih tanah di sisi sungai brantas yang subur tanahnya. Hanya dibangun sebuah rumah untuk ia tinggali dan sisa tanahnya disewakan kepada para petani dengan harga murah namun hasil melimpah karena pengairan yang begitu mudah.

Dikenal sebagai Respati, murid kesayangan senopati Kebo Paran. Sederhana penampilannya, indah tindak tanduknya, kisanak kaya yang dikenal karena sikapnya. Dihormati semua orang sebagai pangeran tapi diperlakukan sopan selayaknya rakyat biasa.

Mahisa tidak menyalahkan kebaikan adiknya itu. Hidup dalam kesederhanaan baik adiknya agar pandangan di mata masyarakat tidak muluk pada ningrat yang angkuh dan kejam pada rakyat rendah. Ia kagum dengan kebijaksanaan adiknya itu juga kecerdasannya yang selalu diagungkan oleh setiap resi yang mengajar mereka.

KINANTIWhere stories live. Discover now