DUA PULUH SATU- Sayap

1.9K 358 13
                                    

21

Wadu dalam bahasa Kawi berarti kawula atau abdi. Kemudian ada wani ditata atau berani di atur dan wani nata atau berani mengatur. Lalu estren atau pengestren yang artinya pendorong. Dan ada akronim putus tri perkawis yang merujuk pada tuntutan sebagai perempuan untuk merealisasikan tri perkawis, yaitu sebagai wadon, wanita dan estri.

Maka sebelum akhirnya Kinanti melepas tanda dirinya sebagai seorang putri, maka ia harus memperhatikan tiga kewajiban itu. Sebagai wadon, artinya ia akan menjadi abdi bagi laki-laki atau suaminya. Kemudian sebagai wanita dimana ia harus berani diatur dan menurut. Terakhir adalah estri sebagai pendorong suaminya dan membantu dalam kehidupan rumah tangga mereka.

Dan kemudian timbullah istilah Garwa atau sigaraning nyawa, yang artinya dia adalah wanita yang akan hidup bersama suaminya dan menjadi belahan jiwa suaminya. Hidup dalam satu atap bernama rumah tangga.

Tapi,

itu adalah filosofi wanita Jawa yang Kinanti pelajari dan dapat dari eyang uti. Di masa depanpun istilah-istilah itu masih dipakai walau tidak sebanyak saat masih ada sistem patriarki. Jika di masa ketika eyang uti menikah, istilah itu adalah acuan penting sebagai wanita sebelum menikah, lalu bagaimana dengan Kinanti yang harus menikah di zaman yang jauh lebih lama?

Tentu patriarki itu masih sangat kental disini. Ketika wanita menikah, maka ia adalah abdi suaminya. Tidak berhak berbicara dan berbuat semaunya. Tanpa restu suami, maka wanita hanyalah makhluk bisu dan tidak berarti.

Terlebih di masa ini, masih banyak hal yang umum dilakukan seorang laki-laki. Memadu istrinya, menikahi banyak selir demi memperbanyak keturunan. Mereka para saudagar dan bangsawan dengan mudah memperistri wanita, kemudian ketika bosan akan memadu dan menjadikan wanita lain sebagai selir. Membeli wanita dari para orang tua yang rela menukar putri mereka dengan harta.

Lalu, hampir tidak ada keadilan bagi makhluk bernama wanita.

Saat Kinanti dipersiapkan untuk menikah, maka timbul pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya ragu. Menikah atau mati. Jika pria yang akan dinikahkan dengannya adalah pria bengis dan berhati sempit, maka Kinanti lebih baik mati. Tetapi jika pria itu adalah orang yang akan bersikap baik dan menghargainya sebagai seorang wanita, maka ia akan bersedia walau pernikahan itu bukanlah atas dasar cinta. Karena pria yang menghargainya sebagai wanita tidak akan memadunya.

Ketika ia bertekad untuk hidup sebagai Kinanti putri senopati Mpu Paran, maka ia akan mengikuti perintah romo-nya.

Namun lagi-lagi harapannya terlalu kecil untuk bisa menikah dan menjadi satu-satunya wanita dari calon suaminya. Jika ia tidak memiliki keturunan maka sah bagi suaminya untuk memiliki istri kedua. Atau mungkin saja Kinanti-lah istri kedua itu.

Tidak ada yang tahu siapa calon suaminya dan apakah ia baik atau justru sebalik. Bahkan untuk memikirkannya saja Kinanti enggan. Itu hanya akan membuatnya semakin takut untuk menikah.

"Masih ingat dengan harapanmu?" pertanyaan itu mengubah atensi Kinanti. Di tangannya ada sebuah bunga randa tapak yang masih utuh belum gugur bahkan satu kelopakpun.

"Terbang seperti merpati." Pria itu mengulangi harapan yang pernah Kinanti sebutkan.

Kinanti tersenyum getir. Harapan itu belum terlalu lama tapi sudah dipatahkan begitu saja.

"Boleh aku yang mewujudkannya?" tanyanya.

"Bagaimana caranya?"

Sang Raden berdiri, berlari ke arah ladang mendekati seekor kuda yang memakan rerumputan, mengelus wajah kuda itu dan sembari melambaikan tangan kepada Kinanti. Direntangkan tangannya merasakan semilir angin menyapu setiap inchi kulitnya.

KINANTIWhere stories live. Discover now