EMPAT PULUH SATU- Tak Lagi Sama

1.6K 320 15
                                    

41

Daha.

Mahisa melepas mahkotanya dan berjalan gontai keatas singgasana. Menatap pada sebuah lontar yang selama ini ia simpan dan tulisannya masih utuh dapat terbaca. Mungkin bagi sebagian orang lontar itu hanyalah selembaran daun biasa berisikan sebuah nama dengan aksara Jawa.

Kata demi katanya menyambut pandang Mahisa. kata yang dulu tidak cukup penting dan berarti, kini berubah menjadi ujung besi yang menyayat hati.

'Narapati, artinya manusia yang cerdas atau seorang raja. Kelak dia akan menjadi raja di hati semua orang, raja yang mendominasi dan senyumannya yang akan menenangkan hati. Kelak ia akan menjadi manusia yang cerdas, kaya akan ilmu pengetahuan dan membaginya tanpa ragu atau membedakan setiap kalangan. Narapati akan menjadi malaikat baik yang menjaga dan menyayangi ibundanya, menghormati ayahandanya, juga menemani setiap langkah saudaranya. Tolong sematkan nama itu saat ia terlahir sebagai seorang pangeran. Semoga sang Hyang Adi Buddha melindunginya dari segala mara bahaya. -Respati'

Lontar itu ia remat kuat dan membakarnya dengan api obor yang menyala. Matanya memerah namun tak lagi ada air mata jatuh membasahi pipinya. Menatap dalam bagaimana api itu menghanguskan lontar tersebut hingga menjadi abu.

Jauh dibelakangnya Agnibhaya membuang muka menahan air matanya yang hampir saja meleleh. Tatapannya miris tertuju pada luka bahu Mahisa yang masih menganga. Juga bayangan ketika Panji Saprang tertembak oleh panah tepat pada jantung. Juga saat perut wanita itu tertusuk pedang dengan begitu kejam. Tanpa sadar ia memejamkan mata, tiba-tiba saja ia merasa trauma.

Agnibhaya bukan dididik untuk berdiri setangguh Mahisa atau Panji Saprang yang bahkan di usia belia kedua kakaknya sudah dipercayakan mengamankan wilayah Kutaraja selama perang penaklukan. Agnibhaya hanya diajari cara untuk membunuh musuh, tetapi tidak dengan melihat rekan maupun orang terdekatnya terbunuh.

"Siapkan upacaranya."

Titah itu membuat Agnibhaya mendongak. Mahisa sudah berdiri menghadapnya dengan perkamen yang kusut akibat diremat kuat. Bahkan perkamen itu juga dibakar hingga hangus ke dalam api.

"Bagaimana dengan Narapati?" tanya Agnibhaya.

Butuh waktu lama untuk Mahisa menjawab pertanyaan itu. Butuh waktu lama pula untuk ia memutuskan. Sampai Agnibhaya menghela nafas dan hendak meninggalkan paseban yang terselimut hawa dingin menyesakkan. Lalu suara Mahisa menghetikannya.

"Kirim prajurit untuk menelusuri setiap desa di Daha, temukan Nara. Aku yang akan menjemputnya—" Mahisa menjeda kalimatnya dan membuang nafas. "Setelah aku melarungkan abu kedua orangtuanya."

"Kakanda—"

Mahisa pergi meninggalkan paseban, membiarkan Agnibhaya yang terdiam. Maka keponakannya itu tidak akan melihat orangtuanya untuk kali terakhir. Lalu entah bagaimana keadaannya saat ini, sendirian di dalam hutan atau ada manusia berhati mulia yang menyelamatkannya. Sebab Agnibhaya tidak bisa membayangkan hal yang lebih dari ini.

----

Mungkin hari ini bukan keberuntungannya. Menginjak tengah malam, namun belum satupun ikan tertangkap oleh pancingnya. Jika malam ini tidak ada satupun ikan yang tertangkap, maka esok hanya umbi yang akan menemani sarapannya dan tidak akan ada yang bisa ia tukarkan dengan beras di pasar. Dalam hati bertanya, apa sudra sepertinya bisa hidup tenang tanpa memikirkan pajak yang harus diserahkan pada Rakai untuk kemudian dikumpulkan di keraton? haruskah ia pindah ke wilayah sima dan hidup selayaknya para Brahmana?

KINANTIWhere stories live. Discover now