EMPAT PULUH EMPAT- Lelaki di Pintu Stasiun

2.4K 309 7
                                    

44

B

ersamaan dengan desis mesin kereta terdengar, gadis itu mematung terdiam kala seorang pemuda dalam jarak yang cukup jauh mampu mengenalinya di dalam kereta. Bahkan kaca gelap kereta tidak menghalangi intuisinya mengenai gadis itu. Nyatanya kembali mereka akan tertuju pada satu sama lain.

Kinanti segera beranjak, menyampir tasnya. Terburu-buru untuk segera turun dari gerbong walau harus berdesak-desakan dengan setiap penumpang yang memasuki gerbong. Sesekali ia tetap melirik, memastikan bahwa Respati masih berdiri di tempatnya dan ini bukanlah halusinasi semata yang disebabkan rindu. Debaran di jantungnya tidak ingin berhenti dan justru semakin kencang.

Ingin cepat-cepat menghadap pada pemuda itu dan menghambur dalam pelukan hangatnya. Tersenyum menyapa sembari berkata bahwa ia telah mengingat semuanya. Walau masih dalam bayangan semata, tetapi ia berdebar hanya dengan membayangkanny saja.

Begitu ia hampir mendekati pintu gerbong, gadis itu merasakan getaran pada ponselnya. Dengan segera ia mengambil ponsel dalam tasnya dan mendapati nomor tidak dikenal, dahinya mengernyit bingung. Bertanya-tanya siapa tanpa menyadari jika diwaktu yang sama Respati juga tengah menghubungi seseorang melalui ponselnya.

Pemuda itu juga berusaha menerobos kerumunan untuk menghampiri gadis itu saat ia tidak kunjung melihat Kinanti keluar. Sama halnya dengan Kinanti, ia juga ingin segera merengkuh tubuh itu. Debaran di dadanya adalah wujud, bahwa perasaannya tidak pernah lalu. Sekalipun mereka telah melampaui waktu yang begitu jauh.

Sayangnya, kerumunan penumpang hari itu cukup padat, menghalangi pandangannya. Walau ditelinganya ponsel menempel berusaha menghubungi nomor gadis itu. Kepalanya bergerak gelisah menelisik satu persatu wajah. Respati tidak salah melihat, bukan?

Pada posisinya, Kinanti terkejut ketika beberapa orang berusaha mendorongnya keluar. Tubuhnya terdorong begitu saja dan hampir terjerembab dari gerbong, jika saja seseorang tidak tanggap menahan tubuhnya. Keduanya sama-sama terkejut. Sama-sama tidak mengira jika itu adalah orang yang berusaha mereka temui satu sama lain. Seperti halnya takdir yang berkali-kali mencoba untuk mempertemukan mereka kembali. Lucu, bukan?

Respati hanya secara kebetulan berada dibawah saat seseorang hampir jatuh menimpanya. Tanpa ia menduga jika orang itu adalah Kinanti. Hal yang akan benar-benar sangat mereka syukuri.

Gadis itu mengerjap beberapa kali. Dalam pelukan Respati menahan beban tubuhnya yang hampir terjatuh, gadis itu masih belum menyadari akan situasi yang terjadi. Lalu beberapa detik kemudian barulah ia kembali pada dunia nyata.

Sadar jika tangannya sudah tidak menggenggam sesuatu. Ponselnya justru terjatuh ke rel melalui celah-celah gerbong. Matanya menatap nanar membayangkan jika ponselnya mungkin akan hancur sesaat setelah kereta kembali bergerak.

"Kamu baik-baik saja, Kinanti?" tanya Respati.

"Hp-nya," lirihnya penuh sesal.

Respati berdecak. Sedangkan gadis itu justru sempat-sempatnya memikirkan hal lain.

"Kinanti," panggil pemuda itu.

"Hm?"

"Beneran ndak ada yang luka?"

"Emm, kayaknya ndak ada—" gadis itu meringis saat Respati melepas pegangan tangannya pada bahu Kinanti. Ia pikir mampu menahan beban tubuhnya dan merasa tidak ada yang salah. Ternyata kakinya terkilir, sehingga gadis itu hampir terjatuh kembali. Beruntung Respati selalu tanggap menahan tubuh gadis.

Suara kereta nyaring terdengar, perlahan kendaraan panjang itu kembali bergerak menuju pemberhentian selanjutnya demi mengantar penumpang.

Disinilah, Kinanti telah sampai di pemberhentiannya— yaitu Respati Awijaya.

KINANTIOù les histoires vivent. Découvrez maintenant