"Anjir, kasian banget Karin. Kak Sean kenapa jadi serem gitu?" cicit Auri.

"Mereka ada masalah kali?" terka Kaila.

"Tapi selama Karin ikut geng Kak Gara, Karin sama Kak Sean adem-adem aja, nggak pernah berantem." April menimpali.

"Tapi kalau dipikir-pikir lagi, nggak mungkin Kak Sean sampai segitunya kalau nggak ada masalah diantara mereka," cetus Auri.

Benar apa yang dikatakan Auri. Sedikit banyak aku sudah mengenal perilaku Sean. Tindakan impulsif yang ia lakukan beberapa saat lalu pasti memiliki alasan dibaliknya.

"Gue nggak nyuruh lo bikin kue buat gue."

Manik tajam Sean menikai wajah Karin yang penuh cream putih serta jejak kue cokelat, sisa kue beserta cake base-nya jatuh di bawah kaki gadis itu.

Kepala Karin tertunduk menatap kue yang tergeletak mengenaskan dengan tangan terkepal di sisi tubuhnya. "Maaf, Kak," lirih Karin seolah menarik belas kasih dari Sean.

Namun tidak berhasil, Sean tak merasa iba barang sedikit pun. "Maaf?" Retorik. Maniknya menghunus lebih tajam. "Maaf lo nggak sebanding dengan apa yang lo lakuin!"

"Gue udah peringatin lo. Jangan pernah ungkit apa pun di depan gue maupun orang lain!" lanjut Sean.

"Maaf." Karin mulai terisak.

"LO NGELAKUIN INI MAU NGASIH TAU SEMUA ORANG KALAU KITA PERNAH PUNYA HUBUNGAN, UH? JAWAB!"

Petir seakan menyambar daksaku manakala pernyataan Sean menusuk membran timpaniku kelewat keras. Amarah yang mengalir pada setiap baitnya mengantarkan fakta yang tak cukup untuk kucerna dalam detik-detik menegangkan ini. Sontak membuat pertanyaan dalam otakku melebur tak terkendali, memecah belah alur pikiranku hingga teracak.

Karin menggeleng ribut, isak tangis gadis itu makin pecah. "A-aku, aku cuma mau rayain ulang tahun Kak Sean."

"Sial!" Sean mengumpat, dadanya yang naik turun mengartikan jika emosinya tengah berada dilevel tertinggi. "Kita udah putus. Lupain semua hal yang menyangkut gue." ujarnya dengan suara yang tak sekeras sebelumnya.

"Mereka pernah pacaran? Sumpah gue baru tau."

"Gue juga baru tau."

"Sama gue juga."

"Kayaknya satu sekolah baru tau hari ini deh faktanya."

"Rapi juga ya mereka mainnya, sampai satu sekolah nggak tau mereka pacaran."

"Mereka backstreet kali, untung udah putus. Jadinya kesempatan gue deketin Sean masih lebar."

Begitulah percakapan yang ku tangkap di sekitarku, perlahan satu persatu siswa siswi membubarkan diri tatkala Sean sudah pergi lebih dulu meninggalkan Karin di tengah lapangan.

"Let, ayo." Auri menarik lenganku.

Menoleh ke belakang melihat Karin perlahan berjongkok memungut kue yang jatuh. Simpati dan empati dalam diriku mendorong agar aku menolong gadis itu. Dengan kesadaran penuh tungkaiku seketika berhenti terayun.

Aku berbalik badan, rasa kasihan membuat tungkaiku berinisiatif mempercepat langkah menuju Karin dan mengabaikan panggilan teman-temanku di belakang sana.

"Sini, gue bantu." Aku menuntunnya agar berdiri. "Ke toilet dulu, bersihin badan lo," ajakku lantas memapahnya ke toilet.

***

Karin sibuk membersihkan cream putih beserta jejak kue dari wajahnya sambil melihat cermin di depan wastafel.

"Kamu senang kan liat aku kayak gini," celetuk Karin masih pada aktivitasnya membersihkan muka.

Diriku yang tengah bersandar pada dinding dan kedua tangan terlipat di depan dada sontak mendengus pelan. "Ngapain juga gue senang? Kalau gue senang nggak mungkin gue nolong lo."

"Iya juga ya," balasnya terkesan polos.

"Dasar oon," cibirku. "Btw lo berapa lama pacaran sama abang gue."

Kepala Karin tertoleh padaku, ia memasang tampang heran. "Kamu lupa? Bukannya kamu yang paling tau?"

"Ah, itu ... gue nggak lupa, cuma pengen ngetes lo aja."

"Kamu kira aku lupa? Kami 6 bulan pacaran dan yang tau hubungan kami cuma kamu."

"Um ... kenapa ya cuma gue yang tau?" Satu tanganku setia bersedekap dan  yang lainnya berpindah menekan dagu dengan jari telunjukku, melihat ke atas seolah berpikir padahal aku sedang memancingnya agar mengatakan lebih banyak lagi.

Karin berdecak sebal. "Kak Sean nggak mau aku diapa-apain sama fans-nya. Kak Sean kan ganteng, pinter, kapten basket lagi. Banyak gadis yang tergila-gila sama Kak Sean. Makanya kami pacaran diam-diam cuma kamu yang tau."

"Terus lo putus kerena apa?"

"Kamu beneran lupa atau mau ngetes aku lagi?"

"Dua-duannya sih, kan udah lama juga, wajarlah kalau gue agak lupa."

"Semuanya salahku," lirih Karin. "Aku pacaran sama Kak Sean buat deketin Kak Gara."

"Anjing, brengsek juga lo jadi cewek. Tapi nggak heran sih, muka lo ini muka polos-polos bangsat."

"Kok lo bisa tega banget sama Sean? Lo macarin dia cuma buat deketin temennya? Lo punya otak nggak sih? Bisa mikir nggak sesakit apa Sean lo perlakuin kayak gitu," cecarku dengan emosi yang menggebu.

Meski Sean yang mengalaminya. Namun relung hatiku ikut merasa nyeri. Bisa dibayangkan sakit dan hancurnya perasaan laki-laki itu.

Melihat Karin lama-lama sukses memupuk kebencianku kepada orang-orang yang rendah komitmen seperti Karin.

"Benar kata Sean, maaf lo nggak sebanding dengan apa yang udah lo lakuin. Rasa sakit dibalas maaf itu nggak adil!"

A or A [New Version]Where stories live. Discover now