Manik Papa mulai berkaca-kaca. Melalui matanya, aku mulai merasakan sakit yang tengah menggerogotinya. Kami pernah sama-sama terluka karena kematian Mama. Mudah bagiku untuk memahami apa yang tengah ia rasakan.

"Saya selalu berdoa untuk kesembuhannya. Saya sangat menyesal kurang memperhatikannya, saya lebih mementingkan pekerjaan daripada dia." Alunan suara rendahnya memelan.

"Minta maaf sama anak Om kalau Om benar-benar nyesal."

"Saya takut dia nggak mau maafin saya."

"Pasti dimaafin. Bagaimanapun juga Om tetap Papanya. Kalau nggak dimaafin, nanti biar aku yang bujuk dia supaya maafin Om, ya?"

Papa menoleh, memperlihatkan lagi wajah kacaunya padaku akan tetapi kali ini tercipta kurva senyum tipis dibibirnya. "Terima kasih, kamu membuat perasaan saya sedikit lebih baik."

Aku tersenyum lebar. "Sama-sama, Om."

"Kamu sendiri jenguk siapa di sini? Atau kamu yang sakit?"

"Nggak, Om, aku nggak sakit. Aku ke sini mau jenguk temen."

"Udah jenguknya?"

"Nanti aja aku jenguknya, dia lagi sama Papanya."

***

Sore hari aku baru tiba di mansion. Begitu melewati pintu utama diriku dibuat terperanjat dengan presensi Sean yang berpijak dan bersandar pada daun pintu.

Firasat buruk menjeratku bersama sorot datar menelisik yang ia lemparkan untukku.

"Jenguk siapa di rumah sakit?" tanyanya memasang raut wajah skeptis.

Dari mana ia bisa tahu kalau aku pergi ke rumah sakit?

Tanganku gemetar, peluh dingin terasa mengguyur tubuhku, pertanyaannya menggait rahasia yang semula terpendam dalam jiwa. Aku berusaha mengatur pernapasanku, mengangkat kepala dan menikai matanya.

"Kenapa diam?" Sean mendekat perlahan, aura intimidasinya tak terelakkan membuat kakiku otomatis mundur dan kata yang ingin kulontarkan tercekat dikerongkongan.

Punggungku sukses membentur dinding, tak ada lagi cela untuk melarikan diri. "Gu-gue je-jenguk temen."

"Sejak kapan lo temenan sama Allana?"

"Gue—"

"Apa hubungan lo sama dia? Kenapa lo bisa tau dia ada di sana?" Sean meremat kuat kedua lengan atasku menuntut agar segera memberi jawaban.

"Allana temen gue."

"Nggak usah bohong! Selama ini lo sibuk ngejar Gara dan lo nggak punya temen selain Karin," hardiknya. "Jawab jujur!" tekan Gara.

Mati-matian aku berusaha agar tidak gugup supaya tak menambah kecurigaan Sean. "Gue udah jujur, mau lo percaya atau nggak itu hak lo."

Rematan kuat dilenganku mengendur perlahan lalu ia menurunkan tangannya. "Gue percaya, tapi gue akan cari tau apa yang lo sembunyiin dari gue." Suara beratnya menyatu dengan helaan napas ringan.

Diam-diam aku menghembuskan napas lega sembari menatapi punggung Sean yang melenggang menaiki undakan tangga.

***

Malam ini aku mengenakan tank top hitam, juga celana pendek sepaha. Aku tengkurap di atas kasur, dengan Macbook berada tak jauh dari wajahku.

Well, aku sedang menonton Drama Korea agar tak terlalu memikirkan kejadian tadi sore.

"Leta."

Panggilan itu membuatku menoleh sejemang ke arah pintu yang telah terbuka lalu kembali lagi menatap layar Macbook.

"Turun, makan malam," suruh Sean.

"Uuu ... ganteng banget," pekikku tak memedulikan keberadaan Sean yang ada di samping kasur.

"Leta." Suara Sean sedikit meninggi.

Menoleh malas disusul decakan kasar. "Apa sih? Ganggu aja lagi nonton juga."

"Makan."

"Nanti. Lo makan aja duluan," sahutku. Di mana sebenarnya aku ingin menghindar dari Sean. Kecemasan dalam diriku kembali bangkit saat menatap obsidiannya, takut ia mempertanyakan hal yang sama seperti tadi sore.

"Makan sekarang!" ulang Sean memaksa.

Aku menyumpal kedua telingaku menggunakan jari telunjuk. "Benar-benar ya pesona pria matang, jadi suka deh."

Sean menarik lenganku hingga aku merotasikan bola mata malas. Bangkit duduk dengan cepat. "Apa sih?" tanyaku. Aku memberi tatapan yang sedikit sinis agar ia berpikir jika aku merasa terganggu olehnya.

Namun tatapanku tak berarti apa-apa baginya, terbukti ia masih bisa berkata kelewat santai. "Ayo makan."

"Nggak mau! Gue nggak lapar."

"Gue yang lapar. Makan sendiri nggak enak, mending berdua."

Dengan malas aku berujar. "Okay, fine! Tapi gue malas turun, makannya di sini aja."

Pada akhirnya kami makan malam di kamar, Bibi yang mengantarkan makanan ke kamarku.

"Itu siapa?" tunjuk Sean ke arah tokoh perempuan di dalam Drama Korea yang sedang berputar pada layar Macbook.

"Oh, itu namanya Go Yoon Jung, kenapa?"

"Cantik."

Aku melotot. "Cantikan mana sama gue?"

Sean melirikku, kemudian melirik lagi tokoh perempuan itu. "Dia." Singkat, padat, dan cukup membuat suasana hatiku menjadi kelabu.

Mendengus tak suka, aku spontan menggeplak lengannya. Aku juga menutup Macbook kasar. "Jahat banget sih! Udah sana pergi!"

Sean bergeming. Menatap matanya, aku merangkum ada sebuah kebingungan di sana. Jika tebakanku benar mungkin ia tengah memikirkan tingkahku yang tiba-tiba marah padanya.

Sejurus kemudian, laki-laki itu buka suara. "Gue belum selesai makan."

"Makan diluar sana!" pekikku kesal.

Sean mengalah, ia bangkit sembari memegang piringnya yang masih tersisa sedikit nasi beserta lauk. Ia melangkah keluar kamar.

Sepeninggal Sean, aku sedikit membuka Macbook. Melihat wajah Go Yoon Jung. Salah satu tokoh di dalam Drama Korea berjudul Moving.

"Iya sih emang cantik, tapikan lebih cantik gue," sungutku. Sekali lagi kututup kasar layar Macbook.

A or A [New Version]Where stories live. Discover now